Bab 1
SEJAK tadi suara itu mengganggunya. Suara seorang
perempuan yang penuh desah kemanjaan itu, seakan
memanggil Norman beberapa kali. Dahi Norman berkerut,
hatinya bimbang dengan pendengarannya. Menurutnya, tak
mungkin ada perempuan yang memanggilnya di tengah
malam.
Norman sengaja melupakan suara itu. Ia mendengar
langkah kaki di depan kamarnya, tapi ia tahu itu langkah kaki
Susilo, teman satu pondokan. Ia bergegas membuka pintu
kamarnya dan memanggil Susilo yang hendak masuk ke
kamar sebelah.
"Sus... jam berapa ini?" tanya Norman.
"Setengah satu kurang," jawab Susilo sambil membetulkan
celananya. Agaknya ia habis dari kamar mandi untuk buang
air. Susilo justru berkata, "Kau sendiri kan punya arloji, masa'
masih tanya aku?"
"Arlojiku mati! Eh, sebentar, Sus!" Norman keluar dari
kamarnya, tidak sekadar melongokkan kepala. Ia mendekati
Susilo yang berdiri di ambang pintu kamarnya sendiri. Dengan
nada herbisik Norman bertanya,
"Sus, kau tadi waktu ke kamar mandi melihat ada
perempuan di sekitar sini?"
"Maksudmu?" Susilo berkerut dahi.
"Aku mendengar suara perempuan di samping kamar, la
seakan memangil-manggil aku."
"Perek. mungkin!" jawab Susilo seenaknya. Norman hanya
mendesah.
"Aku serius, Sus. Dari tadi aku tidak bisa tidur karena
mendengar suaranya."
Susilo berpikir sejenak, tubuhnya bersandar pada kusen
pintu. Seingatnya, waktu ia ke kamar mandi, ia tidak melihat
sekelebat manusia. Pondokan itu sepi. Maklum sudah lewat
tengah malam. Beberapa mahasiswa yang kost di situ
kebanyakan sudah tidur. Kalau toh ada, mereka pasti di dalam
kamar menekuni bukunya.
"Menurutku, kau hanya terngiang-ngiang cewekmu saja,"
kata Susilo.
"Maksudmu, Arni? Ah, suara Arni tidak seperti itu."
"Kalau begitu, kau hanya mendengar suara hatimu saja.
Halusinasi! Ah, ngapain repot-repot memikirkan suara, kau
kan bukan penata rekaman!"
Susilo masuk, menutup kamarnya. Norman mengeluh
dalam desah napas tipis. Ia berhenti sejenak ketika mau
masuk ke kamarnya. Matanya memandang sekeliling. Oh,
pondokan itu amat sepi. Lengang. Denni yang biasanya masih
memutar kaset sampai jauh malam, kali ini agaknya sudah
tidur. Lampu di kamarnya telah padam. Lampu-lampu di
kamar lain pun padam. Hanya ada dua kamar yang lampunya
masih menyala, kamar Mahmud dan kamar Tigor. Mungkin
mereka sedang menekuni materi ujiannya untuk besok.
Tengkuk kepala meremang lagi, Norman bergidik.
Badannya bergerak dalam sentakan halus. Karena, ketika ia
masuk ke kainar dan hendak menutup pintu, ia mendengar
suara perempuan dalam desah kemanjaan yang
memanggilnya.
"Normaaan...! Normaaan...."
Lampu kamar Norman sengaja diredupkan. Ia menyalakan
lampu biru 10 watt sejak tadi. Menurut kebiasaannya, tidur
dengan nyala lampu biru yang remang-remang membuat
kesejukan tersendiri dalam hatinya. Namun, kali ini, kesejukan
itu tidak ada. Yang ada hanya kegelisahan dari kecamuk hati
yang terheran-heran atas terdengarnya suara panggilan itu.
Angin malam lewat. Desaunya terasa menerobos dari
lubang angin yang ada di atas jendela kamar. Suara itu
terdengar lagi setelah dua menit kemudian.
"Normaaan...! Datanglah...!"
Dengan berkerut-kerut dahi, Norman bangkit dari
rebahannya. "Suara itu seperti berada di luar jendela," pikir
Norman. Kemudian, ia mendekati pintu jendela. Ingin
membuka jendela, tetapi ragu. Hatinya berkata, "Tidak
mungkin ada perempuan di luar jendela. Dari mana ia masuk?
Pintu pagar dikunci. Tidak mungkin ia memanjat pagar. Kalau
memang ada perempuan yang memanjat pagar, itu nekat
namanya."
Kemudian, telinga Norman agak ditempelkan pada daun
jendela. Tapi yang didengar hanya suara desau angin,
gemerisik dedaunan. Kamar Norman memang kamar paling
ujung dari sederetan kamar kost-kostan itu. Di samping
kamar, di seberang jendela itu, adalah sebidang tanah yang
biasa dipakai olah raga. Ada lapangan bulu tangkis, dan meja
ping-pong yang jika malam begitu dalam posisi miring,
menempel dinding kamar Norman. Tanah yang merupakan
fasilitas olah raga itu dikelilingi oleh pagar tembok. Pada
bagian atas pagar diberi kawat berduri sebagai penolak tamu
tak diundang. Di seberang pagar tembok itu ada pohon
rambutan milik tetangga belakang pondokan. Sebagian daun
dan dahan pohon itu menjorok ke halaman pondokan, dan
meneduhkan bagi mereka yang bermain pingpong jika siang
hari.
Norman sudah tiga menit lebih berdiri di depan jendela,
tetapi .....
Untuk lebih lengkapnya download di sini.
Rabu, 23 Juni 2010
Misteri Gadis Tengah Malam
3:59 PM
Indra Saputra
No comments
0 comments:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda di sini :)