www.Hypersmash.com

Jumat, 12 Februari 2010

Cinderella Jakarta

Karya : Zainal Radar T


Synopsis :
Nasib Tira nggak seberuntung kebanyakan cewek. Boro-boro
mikir punya gebetan, sekolah aja harus dia tinggalin. Maka, Tira pun
harus pasrah nerima nasib jadi pembantu di keluarga Pak Sasongko.
Namun, kecantikan dan kesederhanaannya membuat hati Gun
kepincut. Tira diam-diam juga menaruh cinta pada putra sang
majikannya itu. Gawat, kan?! Mungkinkah nasib Tira seberuntung
Cinderella yang lantas dipersunting pangeran tajir dan keren?
Gimana pula nasib gaun dan sepatu hak tinggi pemberian Gun?
Kamu boleh aja nebak-nebak akhir ceritanya. Tapi, biar nggak
meleset, mendingan baca aja sendiri! Di buku ini, masih ada belasan
cerita keren lainnya dari penulis yang suka banget bikin pembacanya
nyengir sendirian!


Lukisan Elliza
ELLIZA gemar melukis, terutama melukis wajah cowok
yang ditaksirnya. Bila Elliza melihat cowok yang disukai di
sekolah maupun di jalan maka ia simpan sketsa wajah cowok
itu di benaknya. Setibanya di rumah, barulah ia tuangkan ke
kanvas.
Seperti malam itu. Elliza baru saja melukis wajah seorang
cowok yang ia lihat di sebuah taman. Cowok itu Elliza temukan
di sebuah kursi taman saat ia pulang sekolah. Ketika melintasi
taman itu, wajahnya sempat beradu pandang dengan wajah si
cowok.Sekilas senyum si cowok mengembang, hingga
membekas dalam ingatan Elliza. Senyum cowok itu begitu
manis, semanis susu rasa stroberi yang sering disediakan
mama di rumah.
Sayangnya,cowok di taman itu duduk berdua dengan
seorang cewek. Entah siapa cewek yang duduk bersanding
dengan cowok itu. Mungkin adiknya, sodaranya, teman
sekolahnya, atau ...?
Ah,Elliza enggan berpikir yang nggak-nggak! Ia nggak mau
termakan perasaan. Melenyapkan rasa cemburu yang tiba-tiba
menghampiri jiwanya. Kemudian,Elliza mengandaikan cowok
di bangku taman itu masih sendirian, dan senyumnya itu
memberikan tanda bahwa si cowok sangat mengharapkan
kenal dengan Elliza.
Elliza pernah punya pengalaman tentang seorang cowok
yang duduk berduaan dengan seorang cewek. Kala itu, cowok
yang Elliza lihat duduk berdua dengan seorang cewek,
kemudian cowok itu mendekati Elliza untuk berkenalan.Tetapi,
Elliza menolaknya. Elliza takut melukai perasaan cewek yang
duduk di sebelah sang cowok. Elliza memutuskan pergi
meninggalkan cowok itu, dan melupakannya.
Namun, belakangan Elliza baru tahu. Ternyata, cewek
yang duduk di sebelah si cowok itu bukan pacarnya, tetapi
hanya teman biasa. Elliza tahu karena di kemudian hari,
melihat cewek itu jalan dengan cowok lain. Dan si cowok itu


tetap sendirian. Tentu saja, Elliza menyesal. Apalagi ketika
Elliza ingin mengenal lebih dekat dengan cowok itu, sang
cowok keburu akrab dengan cewek lain! Pupuslah
harapannya.
Oleh sebab itulah, Elliza nggak mau berpikir macammacam
terhadap cewek yang duduk di sebelah cowok di
bangku taman itu, cowok yang wajahnya ia lukis di sebuah
kanvas berbingkai indah. Dan Elliza hanya mau mengingatingat
cowok itu. Senyum manis cowok itu ia letakkan di sebuah
dinding, berjejer dengan lukisan lain yang pernah ia lukis,
menambah koleksi lukisannya.
"ELLIZA, berhentilah melukis wajah cowok! Lukislah
momen lain.Bukankah masih banyak hal yang bisa kamu lukis,
selain wajah cowok-cowok itu?"
"Elliza nggak bisa, Ma.Elliza hanya bisa melukis wajah
cowok. Siapa tahu, cowok yang Elliza lukis mau jadi teman
dekat Elliza?"
"Mendapatkan seorang cowok nggak harus melukisnya
lebih dulu, Sayang!"
"Mengapa, Ma? Bukankah Mama dulu pernah melukis
wajah papa, waktu Mama ingin mengenal papa? Mama
memberikan lukisan wajah papa itu ke papa, hingga akhirnya
papa suka sama Mama?"
"Iya, Sayang, kamu benar. Tapi, Mama hanya melukis
wajah papa, bukan pria lain."
"Elliza belum bisa mendapatkan wajah cowok yang mau
sama Elliza, Ma?"
"Lalu, apa kamu harus terus melukis wajah-wajah itu?"
"Iya, Ma."
"Sampai kapan?"
"Sampai Elliza mendapatkan dia dan menjadikan cowok itu
teman spesial Elliza!"


Mamanya geleng-geleng, tetapi tentunya sangat mengerti.
Putri tersayangnya yang saat ini duduk di kelas tiga SMA,
memang belum pernah terdengar dekat sama cowok. Setiap
kali Elliza cerita, yang ia dengar adalah keluhan mengapa
Elliza sulit mendapatkan teman cowok yang ia inginkan.
Keputusan melukis wajah-wajah cowok yang ia suka akhirnya
menjadi pilihan. Sebelum Elliza benar-benar mendapatkan
cowok yang dilukisnya itu.
Kini, sudah cukup banyak koleksi lukisan cowok Elliza
yang ditempel di dinding kamarnya. Sekitar tiga belas lukisan!
Pertama, lukisan wajah Adrian. Adrian adalah cowok yang
Elliza lukis waktu ia kelas satu. Elliza suka sama Adrian
karena dia pintar main gitar. Sayangnya, Adrian harus pindah
ke luar negeri. Sehingga sebelum Elliza memberikan lukisan
itu, Adrian sudah nggak di sekolahnya lagi.
Lukisan berikutnya adalah Agus, Pepen, Jave, dan Rae.
Keempat cowok itu Elliza lukis sewaktu ia kelas dua. Keempat
cowok itu kakak kelasnya. Mereka anak band sekolah yang
disukai cewek-cewek satu sekolah! Semuanya hanya bisa
Elliza lukis, karena pada akhirnya Elliza tak bisa berharap
lebih selain melukis wajahnya. Sebab, keempat cowok itu
udah punya cewek, anak kelas tiga juga!
Lukisan keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan,
kesepuluh, kesebelas, dan kedua belas, adalah lukisan yang
Elliza buat saat ia duduk di kelas tiga. Mereka adalah Dani,
Tyo, Andra, Kevin, Arman, Jack, dan Ron. Mereka bukan
cuma anak-anak satu sekolah. Ada yang Elliza kenal di mal, di
sebuah pesta temannya, tempat parkir, atau bioskop.
Semuanya cowok bertampang keren, karena semua lukisan
yang Elliza buat memang khusus cowok-cowok bertampang
keren. Sayangnya, dari ketujuh cowok yang dilukis, tak ada
satu pun yang berhasil Elliza dapatkan.
Selain melukisnya, Elliza senang menuliskan nama-nama
cowok itu di balik setiap lukisannya. Dan ia tak pernah lupa
dengan nama-nama itu, karena sebelum melukis wajahnya,
Elliza pasti tau siapa namanya. Kecuali cowok di taman, yang


sore itu tersenyum padanya. Elliza nggak tahu siapa nama
cowok yang baru dilukis itu. Cowok ketiga belas itu masih
misterius statusnya.
Rencananya, sore ini, Elliza akan melintasi taman itu lagi,
berharap bertemu cowok yang telah dilukis wajahnya.Mudahmudahan,
cowok itu duduk-duduk di taman lagi. Dan ...
sendirian.
Sayang, ternyata Elliza tak menemukan cowok itu ketika
melintasi taman. Akhirnya, ia memutuskan duduk di kursi
taman yang kosong. Elliza berharap cowok yang udah dilukis
wajahnya itu datang ke taman, lalu duduk di sebelahnya. Akan
ia berikan lukisan itu pada si cowok,berharap bisa
mendapatkan cintanya.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, Elliza masih
saja duduk sendirian. Elliza muak sama keadaan ini! Tetapi,


ia
masih saja duduk di kursi taman itu, berharap bisa bertemu
dengan seseorang yang diharapkan datang. Satu-dua orang
melintasi taman itu, tapi seperti tak peduli dengan keberadaan
Elliza. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
Dua puluh menit sudah ia duduk.Datanglah seseorang,
duduk di sebelahnya. Kursi taman yang panjang itu, kini
diduduki oleh dua orang. Kalo nggak salah, yang duduk di
sebelah Elliza itu cewek yang sore itu duduk dengan cowok
yang telah dilukis wajahnya. Elliza mulai berpikir, Apakah
cewek yang duduk di sebelahku ini lagi nunggu seseorang?
Atau jangan-jangan, cewek ini emang udah janjian sama
cowok itu di kursi taman ini?
Tiga puluh menit sudah Elliza duduk di kursi taman itu,
bersebelahan dengan cewek yang baru duduk sepuluh menit.
Keduanya saling diam. Satu, dua orang melintasi kursi taman
itu lagi, dan seperti tak memedulikan keberadaan Elliza dan
cewek itu.
Elliza pengin nanya sama cewek di sebelahnya, apakah ia
kenal sama cowok yang sore itu duduk di sebelahnya waktu
Elliza melintas? Tetapi, Elliza ragu menanyakannya. JanganTXT
oleh : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

jangan, cewek di sebelahnya ini memang pacar cowok itu dan
sedang menunggunya. Kalo itu yang terjadi, Elliza bisa malu!
Tiga puluh lima menit waktu berlalu. Cewek di sebelahnya
membuka majalah, lalu menenggelamkan wajahnya ke cover
majalah. Kalo Elliza tampak tegang, cewek itu biasa-biasa
saja. Namun, cewek di sebelahnya sesekali melihat jam
tangan.Setelah itu, kembali sibuk dengan majalahnya.
Rupanya, si cewek seperti nunggu seseorang yang akan
menemuinya.
Akhirnya, Elliza pergi dari taman karena takut kalo cewek
itu emang lagi nunggu cowoknya! Kalo iya, percuma saja
Elliza menunggu!
ESOK sore sepulang sekolah, Elliza kembali duduk di kursi
taman dan ingin memastikan apakah cewek yang duduk di
kursi taman kemarin, emang pacar cowok itu? Kalo iya, ya
nggak masalah, tapi kalo bukan, inilah kesempatan! Elliza
udah nyiapin lukisan cowok itu, dan berniat memberikannya.
Tapi, ya ampun! Ternyata cewek yang kemarin sore duduk
di sebelah Elliza, udah lebih dulu duduk di kursi taman itu!
Cewek itu membaca sebuah majalah yang kemarin Elliza
baca.
Elliza memberanikan diri duduk di sebelah cewek itu
walaupun agak takut dan ragu. Elliza bertekad untuk bertemu
cowok itu, meskipun cewek di sebelahnya ini kekasihnya!
Elliza tak mau berharap banyak kecuali ingin berkenalan, dan
mau memberikan lukisan wajah cowok itu.
Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, Elliza
duduk di kursi taman itu. Bersebelahan dengan seorang cewek
yang entah sedang menunggu siapa.Sebentar-sebentar,cewek
di sebelahnya melihat jam tangannya, lalu kembali sibuk
dengan bacaannya.
Lima menit kemudian, cewek itu bangkit dari duduknya,
lalu merapikan majalahnya. Cewek itu seperti hendak
meninggalkan kursi taman itu! Sebelum cewek itu benar-benar
pergi, Elliza menahannya.


?Eee ... hai!"
"Hai ...!"
"Ng ... kamu lagi nunggu siapa?" tanya Elliza akhirnya,
masih malu-malu.
"Maaf, aku nggak nunggu siapa-siapa, kok. Aku emang
seneng duduk di kursi taman ini, sambil baca majalah!
Kenapa, ya?"
"Ooh, maaf.... Ngngng ... boleh tanya, nggak?"
"Kayaknya dari tadi, kamu udah nanya aku, deh?"
"Eee ... hehehe maaf. Aku cuma mau tanya, apakah kamu
kenal sama cowok yang pernah duduk di kursi taman ini tiga
atau empat hari yang lalu?".
Cewek itu mengernyitkan dahinya, lalu menggeleng. "Maaf,
aku nggak pernah merhatiin siapa aja yang pernah duduk di
kursi taman ini. Terlalu banyak orang duduk di kursi taman ini.
Maaf ya, aku harus pulang sekarang!"
"Eh, tunggu dulu!" Elliza menarik lengan cewek itu.
"Tunggu sebentar! Aku akan mengeuarkan lukisanku dulu.
Siapa tahu, kamu ... kenal dia?"
Cewek itu tampak bingung menghadapi sikap Elliza.
Sejenak, ia menghela napas, menunggu Elliza mengeluarkan
lukisan dari dalam tas sekolahnya. Lukisan wajah seorang
cowok itu Elliza keluarkan, kemudian menunjukkannya ke
cewek itu.
"Kamu kenal dia?"
Cewek itu menatap lukisan, lalu beralih ke Elliza. "Maaf,
aku nggak kenal. Dan aku nggak pernah tahu siapa dia! Maaf
... aku harus pulang sekarang!"
"Terima kasih. Maaf mengganggu waktumu."
Cewek itu meninggalkan Elliza. Kini,Elliza duduk sendirian
di kursi taman, menunggu siapa tahu cowok yang udah ia lukis
wajahnya akan datang. Elliza senang sekali karena si cewek


nggak kenal cowok itu!Elliza bahagia sekali, karena ternyata
cewek yang sering duduk di kursi taman itu bukan kekasih
cowok yang udah dilukis wajahnya!
Elliza menunggu cowok itu sambil mendekap lukisannya.
Satu jam, dua jam, tiga jam, dan sore pun berubah malam.
Ternyata, cowok yang udah dilukis itu tak kunjung datang.
Elliza kesal dan muak sama semua ini! Ia banting lukisan
dalam dekapannya, lalu pergi meninggalkan kursi taman itu!
Satu menit kemudian, seorang cowok melintasi taman itu.
Cowok itu terkejut melihat sebuah lukisan robek teronggok di
dekat kursi taman. Meskipun lampu taman agak meremang,
cowok itu bisa dengan jelas melihat lukisan wajah itu. Cowok
itu pun bergumam sendiri, "Hah?! Lukisan siapa ini? Kok ...
seperti lukisan wajahku? Siapa yang melukisnya? Indah
sekali. Oh, seandainya yang melukis ini seorang cewek


Cinderella Jakarta
BAIKLAH, kuharap kalian menikmati cerita ini dengan
santai. Siapkanlah susu atau teh manis sebagai teman untuk
kalian membaca. Jangan lupa sepotong pizza atau boleh juga
pisang goreng. Siapa tahu,kalian pengin camilan.Asyik sekali
bukan, membaca sambil menikmati camilan? Yang penting,
kalian enjoy, namun tentu saja, tetaplah berusaha agar tubuh
nggak terlalu gemuk!
Berikut ini akan kuceritakan pada kalian sebuah kisah
tentang seorang cewek cantik namun miskin, yang tinggal di
rumah gedongan sebuah pemukiman elite Jakarta. Cewek
cantik itu bernama Tira.
Tira berumur sekitar enam belas tahun. Cewek lain seusia
Tira mungkin lagi menikmati masa-masa remaja yang indah
dengan teman-teman sekolah, atau bisa jadi udah punya
gebetan. Ehm, gebetan ...? Nggak pernah terlintas dalam
benak Tira, memiliki seorang kekasih pujaan hati. Mimpi pun
barangkali nggak!
Tira menetap di keluarga pengusaha kaya raya sejak umur
tiga belas tahun, yakni setelah ia lulus SD. Tetangga Tira satu
kampung mengajaknya bekerja di Jakarta. Ketika itu, Tira
nggak mikirin apa
pekerjaan yang akan dikerjakan. Ia hanya ikut-ikutan dan
berharap mendapat gaji yang akan diberikan pada orangtua di
kampung seperti teman-temannya yang sudah lebih dulu
bekerja di kota.
Oya, baiknya kalian tahu dari mana Tira berasal. Tira
terlahir di sebuah desa pesisir utara pulau Jawa, bertetangga
dengan sebuah daerah yang dikenal sebagai lumbung padi. Di
desa, keluarga Tira bekerja menanam padi di sawah. Hanya,
sawah-sawah yang ditanami padi itu bukan sawah milik
mereka, melainkan milik orang kota. Tak bisa diceritakan di
sini,entah bagaimana caranya keluarga Tira bisa terbelit utang
dan menggadaikan semua sawahnya pada orang kota.
Sebenarnya, bukan cuma keluarga Tira yang mengalami nasib


pahit ini. Tetangga-tetangga Tira pun mengalami hal yang
sama. Itulah sebabnya, anak-anak seusia Tira di desanya
pergi ke Jakarta untuk menjadi ... seperti yang saat ini lagi
dijalani Tira; Pembantu Rumah Tangga!
Tira tinggal di rumah Bapak Sasongko Prawiro, seorang
pengusaha sukses yang bergerak di bidang otomotif. Di rumah
yang sangat luas dan berasitek-tur indah layaknya istana
kerajaan itu, Bapak Sasongko Prawiro tinggal bersama
istrinya.Pak Sasongko hanya memiliki satu anak yang
disekolahkan di Inggris.
Di rumah Pak Sasongko yang sangat luas itu, meskipun
Tira sebagai pembantu rumah tangga,Tira diperlakukan
sangat baik. Bapak dan Ibu Sasongko bahkan menganggap
Tira sebagai putrinya. Bagaimana nggak, Tira itu seorang
cewek yang cantik, berkulit putih mulus, berbulu mata lentik,
beralis bagus, berambut hitam panjang nan tebal dan indah,
pokoknya te-o-pe BGT!
Setiap kali Bapak dan Ibu Sasongko pergi jalan-jalan ke
sebuah tempat, ke hotel atau mal misalnya, Tira selalu diajak.
Kerabat dan partner Pak Sasongko yang kebetulan sesekali
bertemu dengan mereka pasti salah sangka.Mereka
menganggap Tira putrinya Pak Sasongko! Bila mendapat
perlakuan seperti itu, Bapak dan Ibu Sasongko senang dan
bahagia. Bagaimana nggak, Tira itu cantik sekali! Bo lehlah
kalo kita sebut Cinderella! Bapak dan Ibu Sasongko nggak
merasa malu atau sungkan bila orang menyangka Tira putri
mereka.
SUATU hari ketika musim liburan tiba, Goena-wan
Sasongko, putra semata wayang Pak Sasongko pulang ke
Indonesia. Goenawan yang dipanggil Gun oleh orangtuanya
itu adalah cowok tampan, cerdas, berperangai sopan, dan
nggak sombong. Meskipun anak orang kaya, Gun selalu
berpenampilan sederhana. Papanya pernah menghadiahkan
Ferari untuk Gun, tetapi tak pernah mau disentuhnya.


Gun bilang, "Aku nggak enak pakai Ferari di Jakarta. Masa
sih, setiap lampu merah, harus membuka jendela untuk
memberi recehan pada pengamen dan pengemis ...'
Orangtuanya hanya tersenyum mendengar alasan putra
kesayangannya tidak mau menggunakan mobil pemberiannya.
Ketika di Jakarta, Gun hanya memakai mobil yang cukup
sederhana.
Orangtua Gun senang sekali menyambutnya di bandara.
Gun pun bahagia sekali bisa kembali berkumpul dengan
kedua orangtuanya. Ketika tiba di bandara, Gun langsung
memeluk papa dan mamanya secara bergantian. Dan ketika
melihat Tira yang menemani mereka, Gun terkejut.
Gun bertanya, "Pa Mam Who is she?"
Papa dan mamanya hanya tersenyum, lalu mamanya
memperkenalkan Tira.
"Oya, sorry Mama belum cerita. Ini Tira, pembantu kita
yang menggantikan Mbok Nah. Dia sudah tinggal di rumah kita
sejak kamu berangkat, lho!"
Gun tersenyum ramah dan terlihat menaruh hormat pada
cewek yang baru dikenalnya itu, meskipun ia hanyalah
seorang pembantu.
Setelah itu, papa dan mamanya mengajak Gun menuju
mobil. Pak Samson, sopir pribadi Pak Sasongko, membawa
koper dan barang-barang milik Gun. Tira membantu
membawa satu buah koper.
Ketika Tira tengah menarik koper itu, Gun mencegahnya.
"Ini berat sekali. Biar aku aja yang bawa!" ujar Gun
setengah berteriak.
Tira pun tersenyum dan bilang, "Nggak apa-apa, biar aku
bawa. Udah biasa, kok!"
"Biar saja, Nak Gun! Tira itu anaknya kuat lho ...?!" kata
Pak Samson, sambil terus meng-ikuti langkah Pak Sasongko
dan istrinya menuju mobil.


Tira akhirnya menarik koper itu dengan sangat antusias.
Gun hanya bisa memandangi apa yang dilakukan Tira, sambil
teus memerhatikannya. Gun merasakan dadanya bergetar ....
SETELAH menjemput Gun di bandara,malamnya Tira
merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya.Tira tak
mampu memejamkan matanya. Mendadak di kepalanya selalu
terbayang senyum Gun tadi siang! Oh, apakah aku jatuh hati
sama anak majikan ?
DI kamarnya, Gun merenung dan tak mampu melepaskan
sosok Tira walaupun sekejap. Baru pertama melihatnya, Gun
langsung merasa tertarik sama Tira. Sejujurnya Gun akui, baru
pertama kali dalam hidupnya, bertemu dengan cewek seperti
yang selama ini diimpi-impikan.Ternyata,cewek itu tinggal di
rumah sendiri!
Tetapi, kenapa cewek itu harus pembantu?
WAKTU terus berjalan. Sudah seminggu Gun tinggal di
Jakarta. Selama seminggu itu, Gun selalu memerhatikan
gerak-gerik Tira. Melihat cara Tira mengepel lantai.Mengintip
cara Tira menyetrika baju -baju.Melihat dari jauh Tira
menyiram bunga-bunga di halaman.
Gun benar-benar jatuh hati pada Tira! Begitupula
sebaliknya, Tira merasa bersemangat sekali bekerja di rumah
majikannya. Apalagi ketika diperintah untuk melayani Gun.
Mencarikan sepatu yang akan dipakai Gun. Mengambilkan
buku dari ruang perpustakaan untuk Gun baca. Membawa
makanan untuk Gun. Tira suka sekali bisa bersama-sama
Gun.
Tetapi, Tira selalu menyadarkan dirinya, membuang jauhjauh
pikiran yang melesat-lesat di kepalanya, bahwa ia benarbenar
sangat menyukai Gun! Sedapat mungkin, Tira
mengenyahkan pikiran yang bersarang dibenaknya!
Aku ini siapa? Gun adalah anak majikanku yang kaya raya.
Sedangkan aku, cuma ... seorang cewek kampung yang
miskin!


SINGKAT cerita, kedekatan antara Gun dengan Tira
akhirnya diketahui oleh Pak Sasongko dan istrinya. Kedua
orangtua Gun telah mendengar kabar dari Angelina yang
sudah lama berharap menjadi istri Gun kelak bahwa Gun
seringkah mengajak Tira si pembokat itu jalan ke luar rumah.
Ke mal, ke bioskop, dan ke tempat-tempat lainnya.
Angelina putri kolega Pak Sasongko berhubungan dengan
Gun sejak Gun masih di Jakarta, meskipun sebenarnya Gun
nggak memiliki perasaan cinta sedikitpun terhadapnya.
Angelina sangat geram setiap kali ingin bertemu Gun,
sementara Gun malah ingin bersama dengan pembantunya!
Akhirnya, pada suatu hari, Angelina yang berada di rumah
Pak Sasongko memanggil Tira menghadap mereka.
"Tira, seharusnya kamu nyadar diri dan ngaca, dong! Kamu
itu siapa?! Kamu pikir, selama ini bapak sama ibu nggak tahu
ya, kalo kamu sering berduaan ke luar rumah bareng Gun?!"
sewot Angelina dengan sorot mata penuh kebencian.
"Tapi ... walaupun aku keluar rumah, semua pekerjaan
udah aku selesaikan seperti biasanya?"
"Bukan itu maksudnya! Posisi kamu di rumah ini cuma
pembantu! Kamu nggak pantas jalan berdua sama Tuan Gun!"
"Iya, Ra. Mulai sekarang, bapak dan Ibu berharap kamu
nggak lagi berdua-duaan dengan Gun. Mengerti kamu?!"
tegas Bu Sasongko.
"Baik Pa, Bu. Aku berjanji nggak akan lagi pergi sama
Gun."
Sejak saat itu, Tira selalu menolak kalo Gun mengajaknya
pergi.Namun,Tira tak mau memberikan alasannya.
Gun jadi bingung.
KEMUDIAN, Tira merasa tersiksa tinggal di rumah
majikannya. Apalagi setiap kali Tira melihat sepatu hak tinggi
dan gaun indah yang dibelikan Gun, yang rencananya akan ia
pakai jalan-jalan bareng Gun. Pergi berduaan dengan Gun,


kini hanyalah menjadi mimpi belaka. Sebab, Tira udah janji
sama majikannya, bahwa ia nggak mau lagi jalan bareng Gun.
Suatu hari, akhirnya Gun mengetahui kenapa Tira selalu
menolak setiap ajakannya. Gun marah sama Angelina, dan
bilang kalo Angelina nggak berhak ngelarang ia pergi sama
siapa pun. Gun juga menjelaskan seluruh kegundahan pada
orangtuanya. Tentu aja hal itu membuat mama dan papanya
marah besar.
"Gun, Papa dan mama menyekolahkan kamu jauh-jauh ke
Inggris untuk menjadi orang pintar! Menjadi seseorang yang
disegani. Kamu adalah pewaris Papa dan mama yang mulai
beranjak tua ini. Sudah sepantasnya kalau kamu mulai berpikir
serius untuk mencari siapa cewek yang akan menjadi istrimu
kelak. Kami telah sepakat dengan keluarga Angelina, agar
kalian menjadi akrab dan melanjutkan hubungan yang lebih
serius. Jadi, untuk apa kamu deket sama pembantu kita itu?!"
bentak papa Gun.
"Maaf, Pa, Ma, bila kata-kata Gun ini menyakiti perasaan
Papa sama Mama. Aku ingin berterus terang, kalo
hubunganku sama Tira nggak main-main. Sedangkan dengan
Angelina, Gun nggak punya perasaan cinta sedikitpun! Dan,
Gun merasa menemukan cewek yang selama ini Gun impiimpikan.
Cewek itu adalah ... Tira!"
"APA KAMU BILANG?!" Papa dan mamanya terkejut.
"Ya, Gun merasa mencintai Tira dengan sepenuh hati dan
jiwa," tambah Gun.
"Dasar, kamu anak keras kepala dan tak tahu balas budi!"
papa dan mama Gun marah besar. Kemarahan itu nggak
hanya dilampiaskan pada Gun putra semata wayangnya,
namun juga pada Tira. Hingga puncaknya, mereka mengusir
Tira dari rumah. Sementara Gun, kembali dikirim ke Inggris.
Duh, cerita ini kayaknya semakin seru aja! Gimana susu
atau teh manisnya? Gimana pizza atau mungkin pisang
goreng yang tadi kamu siapin? Cobalah nikmatin dulu,
sebelum membaca kelanjutan cerita ini. Aku sendiri lagi


menikmati sebatang cokelat yang tadi aku beli,sebelum
melanjutkan mengetik kalimat berikut-nya.
Hmmm ... asyik banget cokelatnya
Akhirnya, Tira meninggalkan rumah majikannya yang luar
biasa megah itu menuju rumahnya yang sederhana di
kampung. Ketika keluarganya bertanya mengapa ia pulang,
Tira menjawab kalo ia sengaja berhenti karena majikannya
pindah.
Setelah kembali tinggal di rumahnya, Tira tak pernah bisa
melupakan Gun. Setiap malam, Tira memandangi gaun indah
dan sepatu hak tinggi pemberian Gun. Tira ingat, ketika
membeli gaun indah dan sepatu hak tinggi itu, Gun bilang kalo
ia ingin sekali mengajak Tira jalan-jalan dengan mengenakan
gaun indah dan sepatu hak tinggi itu. Tira jadi cantik seperti
putri Cinderella!
Mengingat semua itu, Tira hanya bisa menangis. Ya, Tira
sering menangis sendirian.Ketika salah satu keluarganya
memergoki Tira sedang menangis, mereka menanyakan
kenapa Tira menangis. Tira menjawab, kalo dirinya menangis
karena kehilangan pekerjaan.
SEMINGGU kemudian, kampung Tira menjadi ramai.
Serombongan anak berlarian mengikuti sebuah Ferari merah
menyala. Sedan itu menuju rumah Tira! Pak Samson, si
pengemudi Ferari itu, tersenyum ke arah Tira yang berdiri
kebingungan di depan rumahnya. Kebetulan sekali, hari itu
Tira sedang mencoba-coba gaun dan sepatu hak tinggi
pemberian Gun. Dan Tira nggak sengaja memakainya sampai
ke halaman rumahnya yang lumayan becek ketika sedan
Ferari itu tiba.
Beberapa saat kemudian,seorang cowok turun dari dalam
Ferari, membawa setangkai bunga dan memberikannya pada
Tira.
"Untuk apa kamu ke sini? Bukankah kamu lagi di Inggris?"


Gun menggeleng. "Aku sengaja ke sini mau ngajak kamu
jalan-jalan. Asal kamu tau, sebelumnya aku nggak pernah naik
mobilku ini. Aku ingin jalan-jalan sama kamu dengan mobil
ini."
"Tapi ...."
"Sudahlah! Kamu jangan pikirin papa sama mama. Mereka
nggak tau. Tenang aja, Pak Samson nggak bakalan ngasih
tau, deh!"
"Tapi ...."
Gun mengajak Tira naik Ferari miliknya. Entah bagaimana
perasaan Tira saat itu, antara takut dan senang jadi satu.
Dan maafkanlah aku, karena cerita ini harus berakhir
sampai di sini. Aku nggak akan melanjutkannya, karena aku
harus menghabiskan dua batang cokelat yang belum ku
nikmati ini.


Unjuk Rasa
SUDAH tiga hari, murid-murid SMA 1973 nggak masuk
kelas. Hampir semua murid melakukan aksi unjuk rasa.
Mereka menuntut Dewan Sekolah yang dianggap
mengeluarkan keputusan sepihak. Dewan Sekolah menaikan
SPP, tanpa kesepakatan orangtua siswa.
"Ini namanya kesewenang-wenangan!" protes Winy,
dengan lantang.
"Bener, Win! Kita harus meluruskannya!"sambar Nien, tak
kalah semangat.
"Kalo perlu, kita demo setiap hari sampai mereka
mendengar protes kita!" Hilna menam-bahkan.
"Benar! Jangan berhenti demo, sebelum Dewan Sekolah
menarik keputusannya!" seru Ajeng dengan tangan terkepal.
"Menurutku ... lebih baik kita masuk aja. Kita kan, masih
sanggup membayar kenaikan SPP itu. Kalo kita demo terus,
nanti kita semua akan ketinggalan pelajaran."Eugina justru
menentang, membuat rekan-rekannya marah.
"Gin! Kalo elo mau masuk, masuk aja sendiri!"
"Tau nih anak! Nggak solider amat, sih!"
"Kita memang mampu membayar kenaikkan
SPP itu. Tapi, cara mereka yang kita sesalkan!"
"Selain itu, nggak semua murid di sekolah ini mampu. Iya,
nggak?!"
"BENER!!!"
Eugina tak berkutik. Ia manut pada kesepakatan temantemannya,
melakukan protes terhadap keputusan Dewan
Sekolah.
"Kalo kamu nggak mau ikut unjuk rasa ini,nggak apa-apa,
Gin!" ujar Winy, dengan tampang asem.


"Iya Win, apalah artinya satu suara, dibandingin dengan
hampir seluruh siswa di sekolah ini!"
"Ini jelas menandakan siapa sebenarnya siswa yang nggak
punya rasa peduli terhadap siswa lainnya."
Eugina semakin terkucil. "Oke, deh! Gue minta maaf.Gue
akan ikut kalian berdemo!" Eugina akhirnya luluh juga. Sohibsohib-
nya memeluk Eugina, menandakan bahwa mereka
memang kompak.
Sejak saat itu, Eugina selalu ikutan unjuk rasa, menuntut
agar Dewan Sekolah membatalkan keputusannya. Bahkan,
karena takut dibilang setengah-setengah, justru Eugina yang
menjadi juru bicara dalam setiap unjuk rasa. Dan terus terang
aja, Eugina emang ahli bicara. Eugina adalah salah satu siswa
pemenang lomba pidato antar sekolah tingkat provinsi! Selain
itu, Eugina juga beberapa kali menjadi juara lomba debat!
"Dewan Sekolah jangan hanya memikirkan diri sendiri.
Setiap keputusan hendaknya mendapat kesepakatan para
orangtua siswa! Apalagi negara kita belum terbebas dari krisis.
Sehingga, nggak semua orangtua mampu membiayai anakanaknya
sekolah. Jangan menambah beban mereka dengan
kenaikan yang belum begitu perlu. Aku melihat, alasan Dewan
Sekolah menaikkan SPP demi kemajuan sekolah ini nggak
relevan. Karena tanpa menaikkan SPP pun, kita bisa
memajukan sekolah ini, yakni dengan cara menunjukkan
prestasi setiap siswa. Dan, ini masih terus berlangsung hingga
kini, tanpa ada embel-embel kenaikan. Menyangkut biaya
pembangunan sekolah, baik berupa pembangunan gedunggedung
tambahan maupun perawatan, bukankah sudah
berjalan? Seluruh biaya pembangunan sekolah sudah
dipungut dari biaya pendaftaran siswa-siswa baru. Ditambah
lagi dengan biaya para donatur dari orangtua siswa yang
mampu! Jadi, buat apa Dewan Sekolah menaikkan SPP?!"
Demikian kata-kata Eugina, yang disambut riuh tepuk
tangan oleh siswa-siswi yang berunjuk rasa.
"Gila si Gin-Gin, keren abiiis ...!"


"Dia bener-bener all out\"
"Iya, ya?! Ternyata, dia serius ikutan unjuk rasa ini!"
Sohib-sohib Eugina bangga padanya.
Diam-diam, ada seorang cowok bernama Seno yang
memerhatikan Eugina. Dia adalah cowok yang selama ini
menjadi perhatian Eugina dan teman-temannya. Siapa sih,
cewek-cewek di SMA 1973 yang tak kenal Seno? Seno yang
tajir tapi pendiam, dan terkenal sangat rendah hati. Meskipun
Seno siswa baru, tuh cowok udah ngerebut perhatian cewekcewek
di 1973.
Seusai unjuk rasa di hari yang ketujuh itu, Seno
mendatangi Eugina.
"Hai!"
Eugina mendadak sesak napas ketika makhluk bernama
Seno itu menyapanya. "Hai!" Eugina membalas sapaan.
"Gue Seno! Gue seneng banget denger pidato unjuk rasa
elo! Hebat!"
"Ya."
"Boleh kenalan, nggak?"
"Ya." Eugina masih belum bisa bicara apa-apa. Di sudut
lain,sohib-sohib Eugina melihat keberadaan Seno.
"Weits! Itu si Seno, kan?" "Eh, lagi ngapain tuh cowok?"
"Kayaknya ... serius banget!" "Datengin, yuk ...!" "Ssst ... ntar
aja."
Keempat sohib Eugina mengintip di sudut koridor sekolah.
Seno dan Eugina duduk di bangku depan kelas,
membicarakan tentang unjuk rasa.
"Aku bangga sama kamu, karena kamu cewek yang cerdas
dan tegas," puji Seno sambil terus memerhatikan Eugina.
"Ya."


"Nggak semua cewek, atau mungkin cowok sekalipun,
yang bisa bicara begitu lancar di depan umum seperti kamu,
Gin!" tambah Seno.
"Ya." Eugina masih belum bisa berkata-kata.
"Oke, deh! Gue cabut ke kelas dulu, Gin!"
"Ya."
Seno meninggalkan kelas Eugina. Keempat sohib Eugina
langsung menghambur mengerubutinya. Mereka memberikan
ucapan selamat pada Eugina, karena didatangi Seno!
"Gimana perasaan elo didatengin Seno?"
"Gin-Gin, tau nggak, tiap malem gue mimpiin dia! Taunya
dia caper ke elo!"
"Iya, Gin! Nggak percuma elo jadi juru bicara unjuk rasa
sekolah kita, sampai bikin cowok kayak Seno merhatiin elo!"
"Selamat ya, Gin!"
Eugina cuma senyum-senyum. Ia nggak nge-rasa
tersanjung sama pujian sohib-sohibnya.Sebab, Eugina masih
saja memikirkan, mengapa di depan Seno tadi ia hanya bisa
bilang, "Ya."
Di hari yang kesepuluh, unjuk rasa semakin meriah.
Karena Dewan Sekolah masih belum memberikan keputusan,
seluruh siswa SMA 1973 tetap bersikukuh nggak mau
mengikuti pelajaran di sekolah.
Sejumlah wartawan mendatangi sekolah. Rupanya, para
kuli disket baru mengetahui unjuk rasa itu, setelah mendapat
bocoran dari beberapa orangtua murid yang mengaku resah
karena proses belajar anak-anak mereka terganggu.Bahkan,
sejumlah orangtua murid ada yang akhirnya ikut berunjuk
rasa. Tak ketinggalan,akhirnya sejumlah stasiun televisi
swasta meliput unjuk rasa ini.
Eugina dipercaya menjadi juru bicara oleh para siswa SMA
1973. Karena sejak hari keempat, dialah


yang menjadi andalan para pengunjuk rasa. Bicaranya
cerdas dan tegas. Ia tak pernah kehabisan kata-kata. Saat
para wartawan datang, Eugina yang menjadi sorotan.
"Sebenarnya, kami nggak menginginkan unjuk rasa ini.
Bisa Anda bayangkan, tak akan ada asap kalo nggak ada api.
Benar, kan? Jadi, unjuk rasa ini terjadi hingga berlarut-larut
seperti sekarang, disebabkan karena Dewan Sekolah seperti
nggak mau kompromi!"
"Dewan Sekolah merasa kecewa pada siswa, karena unjuk
rasa ini mencoreng nama SMA 1973. Mereka beranggapan,
kenaikan SPP itu dilakukan demi kemajuan sekolah.
Bagaimana menurut komentar Anda?"
"Sampai kapan unjuk rasa ini berlangsung?" "Apakah
kalian nggak merasa rugi bila setiap hari seperti ini?"
Para wartawan media cetak maupun media elektronik,
membombardir Eugina dengan rentetan pertanyaan.
Dengan tenang, Eugina menjawab, "Maaf, Bapak-Bapak.
Satu-satu, ya! Begini .... Kami rasa, kekecewaan Dewan
Sekolah nggak berdasar sama sekali. Kenapa mereka mesti
kecewa? Yang seharusnya kecewa adalah kami, para siswa.
Kenapa Dewan Sekolah harus menaikkan SPP tanpa lebih
dulu berunding dengan orangtua murid? Dan, kami pikir
alasan menaikkan SPP untuk memajukan sekolah ini cuma
isapan jempol belaka! Tanpa harus menaikkan SPP, sekolah
ini tetap maju! Dan kalo
Bapak-Bapak bertanya sampai kapan kami berunjuk rasa,
kami menjawab; sampai Dewan Sekolah mau membatalkan
keputusan mereka! Kalopun mereka memaksa untuk tetap
pada keputusan itu, mereka harus lebih dulu membawa
masalah ini ke dalam rapat orangtua murid dan Dewan
Sekolah! Sudah, ya! Aku rasa cukup. Makasih, Bapak-Bapak."
"Maaf, pertanyaan aku belum dijawab."
"Yang mana?"


"Ini, eee ... apakah kalian nggak rugi bila setiap hari seperti
ini?"
"Sejujurnya kami akui, kami merasa rugi nggak melakukan
proses belajar mengajar seperti biasanya.Namun,satu hal
yang perlu Bapak-Bapak catat, bahwa tindakan yang kami
lakukan ini pun sebenarnya sebuah pembelajaran! Mengapa
aku katakan begitu? Tindakan melawan kesewenangwenangan
terhadap pihak yang berkuasa itu memang
seharusnya dilakukan! Ini sebagai bekal kami, sebagai siswa
yang nantinya jadi mahasiswa! Apakah Anda lupa, siapa yang
menggerakkan roda reformasi di negeri ini? Apakah Anda,
para wartawan? Atau, Bapak-Bapak yang duduk di gedung
wakil rakyat? Tentu semua masih ingat, bahwa mahasiswa lah
yang menjadi penggeraknya! Dan Anda, para wartawan, yang
membantu menuliskannya di media!"
Semua yang hadir manggut-manggut. Satu, dua wartawan
geleng-geleng kepala. Mereka agak takjub pada kata-kata
seorang siswi yang menjadi juru bicara unjuk rasa sekolah.
Lebih-lebih sohib-sohib Eugina, yang merasa sangat bangga
pada sahabatnya. Tak ketinggalan, Seno yang selalu meluangakan
perhatiannya, menjadi semakin tertarik pada
Eugina!
Keesokan harinya, Dewan Sekolah bersedia berunding
dengan para siswa dan sejumlah orang tua murid.
Perundingan itu memutuskan bahwa kenaikan SPP ditunda
dalam waktu yang nggak terbatas. Dikemudian hari akan
dibicarakan lagi, pada rapat antara Dewan Sekolah dan para
orangtua murid.
Kontan, murid-murid seisi sekolah bergembira
menyambutnya. Terlebih, beberapa siswa yang merasa
keberatan karena ortu mereka orang nggak mampu.
Kegembiraan mereka dilampiaskan pada Eugina, yang
menjadi juru bicara andalan selama unjuk rasa berlangsung.
"Gue nggak bakalan melupakan kejadian ini,Gin! Gue
bangga punya temen cewek yang pinter ngo-mong kayak elo!
Gue berdoa, semoga suatu saat elo jadi presiden!"


"Gin! Elo potensial banget jadi politikus!"
"Makasih. Jangan terlalu berlebihan. Ini semua berkat kerja
sama kita semua!"
Sohib-sohib Eugina nggak kalah senangnya. Mereka
bangga sekali pada Eugina. Dan ... seorang cowok pun datang
memberikan selamat pada Eugina. Siapa lagi kalo bukan ...
Seno!
Ketika Seno datang, sohib-sohib Eugina menyingkir.
"Gin, selamat, ya! Oya, waktu liat kamu di berita teve
semalem, gue nonton sama bonyok gue! Mereka juga
terkagum-kagum lho, sama kamu!"
"Ya."
"Sekali lagi, selamat!"
Setelah itu, Seno pergi. Sohib-sohib Eugina kembali
mengerubuti Eugina. Mereka memberi selamat pada Eugina,
karena Seno kelihatannya "ada hati" pada Eugina. Tapi,
Eugina ternyata nggak sesenang yang sohib-sohibnya kira.
Eugina masih saja tak percaya, bahwa dirinya yang juara
lomba pidato dan kampiun debat itu, yang menjadi juru bicara
unjuk rasa sekolahnya, ternyata selalu menjadi seperti orang
gagu di depan Seno. Di hadapan Seno, Eugina hanya bisa
bilang, "Ya". Nggak lebih dari itu!
Cewek yang Menunggu Pelangi
SEJAK siang hingga menjelang sore, cewek itu duduk di
beranda belakang rumahnya yang menjorok ke pantai.
Aku ingin tahu kenapa di waktu yang sama, ia selalu
berada di sana, seperti tengah menanti seseorang yang udah
sekian lama nggak datang-datang. Dan bila hari berubah
gelap, ia kembali masuk ke rumah, dengan raut wajah kelam.
Setelah kutanyakan pada salah seorang tetanggaku,
barulah kuketahui. Ternyata, cewek itu gagal melihat pelangi!


Oh, rupanya cewek itu menunggu pelangi. Kenapa cewek
itu selalu menunggu datangnya pelangi?
Maka pada suatu sore yang mendung, saat awan hitam
berarak bergerak menutupi sebagian langit,aku bermaksud
mendatanginya untuk sekadar berkenalan. Aku sudah lama
menanti saat yang tepat untuk lebih mengenalnya, ketimbang
harus tanya sana sini seperti yang selama ini kulakukan.
Namun sebelum niatku terlaksana, gerimis terlanjur pecah.
Titik-titik air tumpah dari langit, meskipun pada saat yang
bersamaan matahari dari arah barat menyibak awan. Pada
saat yang bersamaan pula, lamat-lamat kudapati segores
cahaya menghias ujung langit. Cahayanya indah berwarna
merah, kuning, dan hijau. Itulah warna pelangi.
Dari kejauhan, kulihat cewek itu tersenyum di beranda
belakang rumahnya, menikmati apa yang ditatapnya. Begitu
cantiknya ia, manakala senyumnya mengembang. Sepertinya,
kerinduan yang selama ini terpendam, terobati sudah. Oh,
dunia ini seolah miliknya!
Aku yang bermaksud mendekatinya untuk berkenalan,
terpaksa menahan diri. Aku nggak mau mengganggu
keasyikan cewek itu menikmati pelangi.
DI siang yang lain, saat cuaca cerah, kucoba untuk kembali
mendekatinya. Aku ingin menemui cewek itu di beranda
rumahnya. Sebagai tetangga barunya, bukan alasan yang
dibuat-buat bila aku memperkenalkan diri. Siapa tahu, dia
bersedia jadi sahabatku. Sebab sejak tinggal di daerah ini, aku
belum memiliki seorang teman yang seumuran denganku.
Tetapi, sebelum aku berhadap-hadapan dengannya,
seorang cowok lebih dulu datang ke beranda itu, dan terlibat
pembicaraan serius dengan sang cewek. Cowok itu cukup
tampan. Tubuhnya proporsional bak seorang atlet. Ia datang
membawa setangkai bunga melati. Aku hanya bisa
mengintipnya dari balik bilik beranda samping rumahku.
Aku melihat cowok itu memperlihatkan keakraban,
mengajak si cewek bicara. Si cowok tampak begitu antusias.


Namun, cewek itu tak menunjukkan rasa
senangnya.Kukira,cewek itu nggak terlalu suka dengan si
cowok. Hal itu ia tunjukkan dengan wajahnya yang selalu
memberengut, sepanjang bersama-sama si cowok.
Beberapa saat kemudian, si cowok pergi me ninggalkan si
cewek. Dan si cewek tampak senang melepas kepergian
cowok keren itu. Aku nggak tahu kenapa cewek itu terlihat
nggak suka sama kedatangan cowok itu. Aku jadi khawatir
mendapat perlakuan yang sama kalo mau kenalan sama dia.
Aku takut cewek itu ngerasa keganggu sama kehadiranku.
Siang itu, kembali kutanyakan tentang cewek itu pada
orang yang udah lama tinggal di sekitar kediamanku.Aku
terpaksa nggak menanyai langsung cewek itu, karena alasan
tadi. Dengan orang yang kutanyai ini, kebetulan aku udah
sangat akrab. Dia Pak Koko Nata, seorang nelayan tua
bermata sipit yang ramah, yang namanya seperti orang
Jepang. Pak Koko Nata berasal dari Palembang.
"Kamu beruntung bisa melihat cewek itu. Cantik, kan?" puji
Pak Koko Nata.
"Bukan masalah cantik atau nggak, Pak. Aku hanya
bingung pada apa yang ia lakukan setiap siang menjelang
sore." "Maksud kamu?"
"Kenapa dia selalu berada di beranda belakang
rumahnya?"
"Udah Bapak bilang,kalo dia sedang menung-gu pelangi!"
Aku menghela napas. Aku masih nggak habis pikir tentang
cewek itu.
"Ya! Cewek itu menyukai pelangi!" ulang Pak Koko Nata.
"Jadi, setiap sore dia akan berada di beranda belakang
rumahnya, hanya untuk melihat pela-ngi?!"
"Sepertinya begitu! Lagi pula, dia nggak setiap hari tinggal
di rumahnya. Hanya waktu liburan, seperti saat ini."
"Lho?! Jadi, sebenarnya dia nggak menetap di rumah itu?"


"Cewek itu tinggal dan sekolah di Jakarta."
"Bapak tahu siapa namanya?"
"Eee ... aku tahu, nama cewek itu Elliza. Coba kamu
tanyakan sendiri."
KALO benar cewek bernama Elliza itu tinggal di daerah ini
hanya pada waktu liburan, berarti waktu yang kumiliki untuk
bisa mendekatinya hanya tersisa sehari.Besok bisa dipastikan
Elliza akan bersiap-siap kembali ke Jakarta karena waktu
liburan udah habis.
Aku pun bersiap-siap berangkat ke Jakarta, untuk mencari
sekolah baru. Ayahku memang menginginkan aku bersekolah
di Jakarta, meski pun beliau ditugaskan di daerah, tempat aku
berada kini. Di
Jakarta, aku bisa menumpang di rumah paman. Setelah
tinggal dan sekolah di sana, mungkin aku baru pulang ke
rumah ini hanya pada waktu liburan atau di akhir pekan.
Sebelum terlambat, baiknya kudatangi cewek itu, yang
siang ini tengah asyik duduk di beranda belakang rumahnya.
Aku berharap, mudah-mudahan dia mau menerima
kedatanganku.
Tetapi sebelum kulangkahkan kaki, seorang cowok yang
kemarin membawa bunga datang lagi. Cowok keren itu datang
membawa bunga lain, yang warnanya berbeda. Dan si cewek
seperti biasa, mengacuhkan kedatangannya. Hingga akhirnya
si cowok pergi meninggalkannya.
Bersamaan dengan kepergian si cowok, aku berjalan
melintasi beranda rumahnya.Cuaca saat itu mendung. Aku
sengaja nggak mampir ke berandanya, melainkan berjalan ke
arah pantai. Kurasa aku tengah melakukan trik 1001 cara
menaklukan cewek, yang pernah kubaca di sebuah buku. Aku
mencuri perhatian cewek itu, menyukai apa yang disukai si
cewek. Yup!


Aku terus berjalan hingga ke bibir pantai. Aku sengaja
nggak menoleh ke belakang, pura-pura tidak peduli sama
keberadaan cewek itu. Aku berharap cewek itu melihatku.
Aku duduk pada sebuah batu karang yang mulai tersentuh
oleh deburan ombak. Laut hampir pasang. Kulihat guntur
membelah langit, memercik seperti las listrik. Gerimis perlahan
tumpah membasahi tanah. Aku segera berlari ke arah pohon
kelapa yang daunnya nggak terlalu tinggi, berteduh di sana.
Ketika tubuhku udah merasa aman di bawah pohon kelapa,
tiba-tiba gerimis berhenti. Matahari perlahan menyembul dari
balik awan hitam. Aku kembali ke batu karang semula. Dan
sialnya, pada saat pantatku menyentuh batu karang itu,
gerimis kembali tumpah ruah. Gerimis datang meskipun sang
surya bercahaya terang. Dan secara bersamaan, terlihatlah
pelangi.
Aku kembali berlari untuk berteduh. Tapi, aku ragu
melangkah ke pohon kelapa itu, karena seseorang telah
berada di sana, duduk menengadahkan wajahnya ke pojok
langit. Dia, cewek itu, tengah menatap pelangi!
Kupikir ini kesempatan. Aku tak akan merasa malu untuk
berteduh di bawah pohon kelapa itu.Aku udah lebih dulu
berada di sana, sebelum ia datang. Menyesal aku telah
meninggalkan pohon kelapa itu ketika gerimis berhenti.
Harusnya, aku ada di sana sebelum dia tiba. Kukuatkan hati
untuk berteduh di dekatnya!
"Boleh numpang berteduh?" tanyaku pada cewek itu, dan
langsung disambut dengan senyuman. "Silakan."
Aku berdiri di sebelahnya, kemudian melirik sekilas,
mendapati keceriaan wajahnya yang antusias menatap
pelangi. Aku ingin berbasa-basi, tapi takut menganggu.
Apakah aku harus selamanya berdiam seperti ini? Tuhan
menciptakan mulut untuk bicara, bukan untuk makan saja.
Kenapa aku jadi seperti kura-kura?
"Indah sekali, ya, pelangi itu?!" akhirnya, keluar juga katakata
dari mulutku.


"Ya, ya ... indah."
"Kamu suka pelangi?"
"Suka sekali! Kamu?"cewek itu menatapku. Bulu matanya
yang lentik seolah menarik-narik bola mataku. Duh, begitu
teduhnya tatapan itu.
Aku tak kuasa berkata-kata, takjub pada tatapannya.Aku
hanya mengangguk pelan,lalu kembali memandang pelangi.
Ketika pandanganku tegak lurus menikmati pelangi,cewek itu
menatap wajahku lama sekali.Aku tahu karena aku nggak
benar-benar menatap pelangi.
"Kenapa kamu suka pelangi?"tanyaku kemudian.
"Karena pelangi tak pernah bohong."
"Cuma itu?"
"Karena pelangi selalu setia."
"O, ya?"
"Dan pelangi selalu bisa menyejukan suasana hati. Kalo
kamu, kenapa suka pelangi?" cewek itu balik bertanya.
"Aku ...?"
"Ya, kamu? Kenapa kamu suka pelangi?"
"Karena aku sungguh bingung dibuatnya. Kenapa aku suka
pelangi, ya? Uh, aku nggak pernah berpikir tentang pelangi
sebelum ini. Aku jarang sekali melihat pelangi. Selama di
Jakarta, aku nggak pernah menyaksikan pelangi. Lagi pula,
untuk apa?
"Kok, diem ...?"
"Kenapa aku suka pelangi ... karena ...." Pikiranku
kembali buntu, namun terbersit masa
kanak-kanak,saat kudengar lagu pelangi menga-lun,
"Peiangi-peiangi ... alangkah indahmu ... merah kuning hijau,
di langit yang biru setelah itu, kembali buntu!


"Boleh aku jujur sama kamu, kenapa aku suka pelangi?"
kataku kemudian, membuat raut wajahnya berubah. Mungkin
tumbuh rasa ingin tahu yang berkecamuk di benaknya.
"Ya, kamu memang harus jujur."
"Aku suka pelangi ... karena ... keindahannya." Begitulah
yang kukatakan padanya, hingga senyumnya tiba-tiba
merekah.
"Aku baru menemukan cowok romantis kayak kamu,"
ucapnya sambil tersipu.
"Maksud kamu?"
"Aku nggak pernah menemukan cowok yang menyukai
pelangi kayak kamu."
"Begitu, ya?!" Cewek itu tersenyum.
"Oya, boleh aku tahu nama kamu ...?" Lalu, aku
menyebutkan nama. Dan bilang padanya, "Kamu pasti
Elliza?"
"Kok kamu tahu nama aku?" Aku tersenyum. Elliza
geleng-geleng kepala.
SEJAK saat itu, nggak bisa nggak, aku menyukai pelangi.
Dan saat tinggal di Jakarta, aku selalu mencari pelangi. Kalo
rindu sama Elliza, dan Elliza ternyata sedang sibuk, pelangilah
yang kucari.
Seringkah aku menunggu pelangi, namun nggak pernah
menemukannya. Aku jadi bingung, mengapa di Jakarta sulit
sekali menemukan pelangi? Apakah karena Jakarta selalu
terang benderang oleh lampu-lampu gedung-gedung
bertingkat, sehingga membuat pelangi tak mau menunjukkan
dirinya.
Aku jadi kangen pulang ke rumah di bibir pantai itu,
mengajak Elliza untuk bersama-sama melihat pelangi di sana.


Cowok Yang Menakutkan
TRISTAN selalu bikin masalah. Kalo nggak nyindir-nyindir,
ada aja yang dia lakuin. Mendenguslah, mendehemlah,
bersiul-siul sok merdulah, atau cekikikan dengan anak-anak
cowok lain. Jadinya, lama-lama tuh cowok jadi menakutkan!
"Hm, boleh juga tuh sepatu?! Warnanya ngej-reng amat!
Jadi kayak kue lapis bikinan nyokap gue! Hahaha ...!" itulah
komentar Tristan, waktu gue pake sepatu pink yang baru gue
beli di sebuah mal.
"Eh, tumben nih ... roknya agak tinggian? Jadi kayak
Britney habis kecebur di kali! Hahaha ...!" ini komentar dia
waktu gue habis latihan cheers.
"Wuah, rambutnya diponi ni, yee ...! Hihihi lumayan buat
ngelindungi muka kalo turun hujan!" ini komentar waktu Tristan
ketemu gue di deket kantin. Itu belum seberapa. Malah ada
lagi yang lebih nyeremin. Tau nggak, Tristan pernah bilang,
"Dhini, mending elo ikutan casting aja, biar bisa gantiin Mpok
Ati. Lumayan tau, peran jadi ibu-ibu sekarang lagi banyak
dibutuhin rumah produksi! Hihihi ...!"
"Dhini, elo kok, cemberut aja kalo lewat di depan gue?
Mending manis! Bibir elo tuh, udah kayak
dompet tanggung bulan! Hahaha .,,!"
"Dhini! Kalo dipikir-pikir, elo cakep juga. Sayang, gue
nggak pikirin!"
Tuh, nyebelin nggak, sih?! Untung cowok yang namanya
Tristan cuma satu di sekolah gue. Coba kalo ada tiga Tristan.
Bisa ko'it gue!
Sebenernya, gue pengin ngedamprat dia kalo lagi jahil
sama gue. Tapi, gue nggak berani. Temen-temen gue malah
ngasih selamat ke gue, atas perlakuan si tengik Tristan sama
gue.


"Elo beruntung, Dhin! Tristan tuh setau gue, anaknya
pendiam!" kata Chacha, yang ngaku sering banget merhatiin
Tristan kalo upacara bendera.
"Gue nggak percaya kalo Tristan begitu sama elo! Anaknya
kan, cool banget!" Agni malah memuji.
"Gue tuh mimpi banget digodain Tristan! Sumpeh, deh!"
ucap Bunga berapi-api.
Audi lain lagi. Dia malah bilang, "Tristan?! Dia itu cowok
dambaan gue!"
Huaaah, bener-bener membingungkan!
Sewaktu curhat sama nyokap, beliau malah ceramah
tentang masa remajanya. "Dhini, dulu di sekolah Mami juga
ada cowok yang ngeselin banget! Anaknya suka jahil. Mami
sebel banget sama cowok itu. Tapi lama-lama, Mami suka
sama dia. Nggak tau kenapa? Tau nggak, cowok itu siapa?
Dia itu papi kamu! Hihihi ...!"
"Oh, jadi papi itu dulunya sengak juga ya?!"
"Bukan sengak lagi! Tapi ngeselin, sok, tengil, berlagak,
perlente, sirik, dengki ... cumaaa ... dia dulunya ganteng, lho!"
"Uh, Mami kenapa mau sama cowok tengil jahil kayak papi,
sih?"
"Buktinya, ternyata papi orangnya baik banget. Iya, kan?!"
"Iya juga, siiih
EMANG gue akui, Tristan itu cowok yang keren dan
lumayan tajir. Kebisaannya banyak. Dan kata anak-anak di
kelasnya, dia termasuk anak pinter. Tapi ... kok, kelakuannya
ama gue begitu, ya? Kenapa, ya? Apa mungkin karena selama
ini gue nggak pernah marah diperlakukan begitu sama dia?
Apa gue mesti melawannya?
Oke, mulai besok, gue nggak bakal menghindar lagi kalo
ketemu dia. Gue nggak takut lagi! Gue ba-kalan ngedamprat


dia, kalo dia kurang ajar lagi sama gue! Gue bakalan marah
habis-habisan!
Keesokan harinya, gue mencari-cari di mana Tristan
berada.Gue sengaja mau lewat di depan dia. Gue mau cari
gara-gara! Gue udah panas banget kalo inget dia. Selama ini,
boleh aja dia nginjek-nginjek gue. Sekarang nggak boleh lagi!
Cowok kayak Tristan musti dikasih pelajaran. Musti digecek!
Kalo perlu ditumbuk halus, diberi sedikit lada, dicampur garem,
dikasih cabe rawit, ditaburin cuka, terus disiram pake air panas
seratus delapan puluh derajat selsius!!!
"Liat Trsitan, nggak?" tanya gue ke salah satu cowok yang
biasa nongkrong sama Tristan.
"Belum liat, tuh. Kenapa? Kangen, ya?"
Busyet! Kangen? Gila aja kangen sama cowok kayak
Tristan?
"Eh, jangan macem-macem,ya! Liat nggak, lo?!"
"Bujug, Non, galak amat?! Nggak liat!"
"Bilang dong, dari tadi!" Ya, ampun! Ternyata gue galak
juga, ya? Tristan nggak berhasil gue temukan. Ke mana ya,
tuh cowok? Jangan-jangan, dia udah punya firasat, kalo pagi
ini gue mau melabraknya!
Hari ini, Tristan nggak masuk. Kata salah satu temen
sekelasnya waktu gue interogasi Tristan sakit.
KEESOKAN harinya, Tristan masih belum masuk juga.
Begitupun hari-hari berikutnya. Hingga seminggu lamanya,
Tristan nggak masuk sekolah. Lama-lama, kemarahan gue
jadi surut.
Sejak Tristan nggak masuk, nggak ada lagi cowok yang
jahil sama gue. Nggak ada yang sirik, dengki, macem-macem,
ngeledekin, nyeletuk, atau apalah. Gue bener-bener terbebas
dari godaan makhluk menyebalkan seperti si Tristan itu.
Sepuluh hari kemudian, gue ngeliat Tristan di depan
kelasnya sendirian. Dia tampak segar bugar. Nggak ada kesan


bahwa dia habis sakit. Malahan, bisa dibilang tuh anak tambah
manis aja! Ups, kok, gue jadi muji-muji si Brengsek, ya?!
Kayaknya, gue mesti lewat di depan dia. Gue pengin tau,
apakah dia jahil sama gue kayak biasanya atau udah
berubah?
Gue pun melintas di depan Tristan. Dan ternyata ... dia
cuek aja!
Gue jadi penasaran. Gue mampir ke kantin. Pesen jus
alpukat. Habis itu, gue balik lagi ke kelas, lewat ke kelasnya
Tristan. Pas mau lewat kelasnya, Tristan keluar kelas,
berpapasan ama gue. Tapi, dia cuek aja!
Kok, dia cuek aja?!
SEJAK kejadian hari itu, gue jadi sering melamun. Kenapa
cowok bernama Tristan yang sengak dan tengil itu nggak lagi
ngeganggu gue? Apakah dia udah menyadari kesalahannya?
Atau jangan-jangan, mungkin karena penyakit yang
dideritanya. Dia kan, nggak masuk sekolah karena sakit.
Karena sakitnya itulah dia jadi nyadar. Nggak mau ngego-dain
gue lagi. Begitu kali, ya?
Hm, gue jadi penasaran. Besok,gue mau lewat di depan
Tristan lagi. Gue mau ngepang rambut. Dulu, dia pernah
ngomentarin rambut gue. Dia pernah bilang kalo rambut gue
sebaiknya ditutupin topi, biar enak diliat. Tapi, topinya topi
proyek! (Yang kayak helm itu, lho!). Ugh!
Nah, kalo sekarang gue lewat di depan dia pake rambut
kepang dua, siapa tau dia jahil lagi, ngatain rambut kepang
gue? Nggak dimacem-mace-min aja dia jahil, apalagi ...
dikepang dua begini! Yup! Gue coba.
Pas jam istirahat, rambut gue minta dikepang dua sama
Audi. Gue mau melintas di depan Tristan dengan rambut
kepang dua. Pasti, dia bakalan nyin-dir gue.
Ternyata ... udah susah payah dikepang dua dan dikasih
pita segala, Tristan cuek-cuek aja! Malahan, kayaknya dia
nggak terpengaruh sama keberadaan gue! Sial!


Gue semakin penasaran! Gue coba ngegulung tangan baju
seragam. Dulu, gue pernah dibilang preman terminal waktu
tangan baju seragam gue nggak sengaja terlipat. Hm, gue
coba, deh.
Ternyata ... Tristan cuek aja!!!
Kenapa, ya?! Apakah Tristan udah ngeiupain gue?!
Waduh, kenapa justru sekarang gue jadi inget terus sama
Tristan?!
"Mami bilang juga apa? Kalo kamu digodain cowok, nggak
usah ditanggepin. Apalagi dipikirin! Nanti, lama-lama kamu
bisa seneng sama dia," ucap mami waktu gue curhat.
"Ah, Mami. Siapa sih, yang seneng sama dia?! Dhini cuma
penasaran. Kenapa dia jadi berubah."
"Itu bagus, kan?" tanya mami.
"Bagus sih, bagus ... tapi, apa dong, penyebabnya?"
"Kenapa tanya Mami? Tanya dong, sama anaknya
langsung!"
"Hah?! Tanya sama Tristan?! Amit-amit, deh!"
"Jangan begitu, dia itu temen kamu juga!"
"Iya juga, sih."
Besoknya, gue harus tanya langsung, kenapa Tristan
berbuat begini sama gue. Kenapa kemarin-kemarin itu dia sok
tengil sama gue.
Tibalah saatnya gue ketemu Tristan di depan lapangan
upacara bendera. Gue sengaja ngedatengin dia pas latihan
basket.
"Tan, gue mau ngomong sama elo!" teriak gue keras.
Tristan tampak sok bego.Dia cuma menunjuk-nunjuk dadanya.
"Iya, sama elo! Gue mau ngomong!" Tristan pun nyamperin
gue. Tapi sewaktu dia jalan ke arah gue, kakinya tersandung.
Dia nyaris jatuh dan kelihatan culun dan lucu. Gue sempet


senyam-senyum, tapi langsung ditahan. Nanti jadi nggak
keliatan gahar lagi di depan dia.
"Ada apa?" tanya Tristan dengan ramah sekali.
"Gue mau ngomong sama elo, bisa?!"
"Kayaknya nggak bisa sekarang, deh. Gue lagi latihan."
"Kapan bisanya?"
"Kalo ntar, gimana?"
"Habis latihan?"
"Ya. Tapi, gue latihannya sampe sore. Elo tunggu gue,
gimana?"
Gimana, ya? Gue jadi bingung, nih! Ya, daripada terus
penasaran, gue tunggu aja, deh.
Lagian, kalo gue maksa ngomong di pinggir lapangan, ntar
dikira gue keganjenan ngobrol sama dia.
"Oke, gue tunggu!"
"Ya, udah. Gue latihan dulu, ya?"
Gila tuh anak! Kok, sopan banget, ya?
Akhirnya, gue nunggu Tristan latihan. Temen-temen gue
pulang lebih dulu. Boleh jadi, karena hari Sabtu. Mereka pasti
pada pengin cepet-cepet pulang.
Kok, gue jadi nunggu Tristan, ya?
Selesai latihan, Tristan langsung ngajak gue pulang.
"Boleh nggak, gue nganter elo pulang?" ucap Tristan,
sebelum gue berkata-kata.
"Hah?! Berani-beraninya elo nganter gue pulang?!"
"Kalo elo mau
"Udah, jangan pura-pura jadi orang baik, deh! Gue mau
ngomong, nih!"


"Ngomong aja ... mau ngomong apa, sih?" Gue dan Tristan
berhadap-hadapan. Sorot matanya begitu tajam. Gue jadi
bingung mau ngomong apa, saking silau sama tatapannya.
"Udah, ngomong aja!"
Tiba-tiba, gue lupa mau ngomong apa!
"Ya, udah. Ngomongnya ntar aja. Sekarang udah hampir
gelap. Gue anter elo pulang, ya?" usul Tristan, lalu berjalan ke
halaman parkir sekolah.
Gue nurut sama kata-katanya. Gue terus aja ngikutin ke
mana langkahnya. Sampai dia nyuruh gue masuk ke mobilnya.
Dan gue diem aja sampai mobil jalan, dia cengar-cengir
sendirian.
"Tadi, katanya mau ngomong. Udah, ngomong aja!" Tristan
mendesak gue lagi.
Gue bingung mau ngomong apa. Terus terang aja, gue
suka dia jadi berubah baik.
"Huh, bilang aja pengin dianterin pulang! Nggak usah pake
alesan mau ngomong segala."
"TRISTAN!"
Mata gue melotot. Tapi, Tristan malah senyam-senyum.
Gue luluh sama senyumnya yang manis itu. Siaaal ...!


Bekas Koreng
DUA benci banget sama bekas koreng yang ada di kedua
lututnya. Pasalnya, ia jadi nggak berani pakai rok pendek lagi
ke sekolah. Selama ini, Dita selalu pakai rok yang tingginya di
atas lutut. Tapi setelah ada bekas korengnya itu, ia jadi nggak
pede lagi pake rok pendek!
Bekas koreng itu sangat jelas terlihat ketika lututnya
terbuka. Bentuknya bulat sebesar telur puyuh, melingkar pas
di bagian depan tempurung kedua lututnya. Hal itu terjadi
akibat Dita jatuh dari sepeda waktu boncengan sama Pepen.
Dita jatuh dengan posisi lutut membentur tanah aspal
kompleks perumahan. Kedua lututnya berdarah hingga lama
kelamaan jadi koreng.
Salah Dita sendiri yang menyebabkan luka di kedua
lututnya itu jadi koreng. Saat Dita jatuh dari sepeda, ia nggak
bilang papa-mama. Alasannya takut, sebab papa dan mama
pernah melarang Dita boncengan sepeda sama Pepen.
Sepeda cowok yang Dita taksir itu nggak ada jok belakangnya.
Dita sering boncengan sama Pepen, berdiri pada besi yang
dipasang di bagian tengah ban belakang sepeda itu.
Peristiwa malang itu terjadi waktu Pepen mengayuh
sepedanya kencang-kencang, dan lupa mengerem saat
melintasi "polisi tidur". Hal itu menyebabkan ban depan
sepeda terangkat, lalu Dita terpelanting ke belakang, terjatuh
dengan posisi kedua lutut membentur aspal!
Berhari-hari Dita menutupi kedua lututnya dari papa dan
mama. Begitupula terhadap teman-teman di sekolah. Setiap
hari, Dita memakai rok panjang untuk menutupi lukanya. Dita
hanya mengobatinya dengan plester dan obat merah. Namun
suatu malam, mamanya mendengar rintihan Dita di kamar.
Mama masuk dan memergoki Dita tengah membuka plester
yang menutupi lukanya. Luka di kedua lutut itu bukannya
sembuh, tetapi malah menjadi koreng!
Malam itu juga,mama dan papa membawa Dita ke dokter.
Menurut dokter, luka Dita mengalami infeksi. Tetapi, dokter


bisa menanganinya, Dita diberi obat secukupnya dan
disarankan istirahat di rumah dulu sebelum luka itu sembuh.
Dita pun izin nggak masuk sekolah. Karena nggak masuk
sekolah, akhirnya teman-teman dekatnya jadi tahu kalo Dita
korengan.
Setelah tiga hari nggak masuk sekolah,luka itu mengering.
Dan Dita senang bukan main karena nggak merasakan nyeri
lagi. Hanya,luka itu membekas. Menurut dokter, hal itu terjadi
karena luka itu tadinya telah jadi koreng!
Karena bekas koreng itulah, Dita jadi nggak berani pakai
rok pendek ke sekolah. Ia malu kalo semua temannya melihat
bekas koreng. Sementara itu, kalo pakai rok panjang terus,
Dita juga merasa jengah. Jengah pada teman-temannya yang
biasa melihat Dita pakai rok yang panjangnya di atas lutut.
Jadi serba salah!
"Kamu kan, bisa pake rok panjang, Ta," nasihat
mamanya, waktu Dita mengeluh soal bekas koreng yang
masih sangat kentara di kedua lutut-nya itu.
"Malu sama temen-temen, Ma. Nanti diledekin lagi!"
"Masa sih, orang pake rok panjang diledekin?!"
"Bener lho, Ma. Kalo Dita pake rok panjang terus,
dikiranya kaki Dita masih korengan!"
"Terus gimana, dong?!"
"Mungkin Dita perlu operasi plastik. Biar bekas korengnya
nggak kelihatan lagi!"
"Operasi plastik?!" Mama terbengong-bengong mendengar
Dita mengusulkan operasi plastik. Jelas aja mama jadi
mendadak terbengong-bengong karena biaya operasi pasti
mahal.
"Apa nggak ada jalan lain, Ta? Apa nggak nunggu hilang
sendiri aja?!"
"Kalo bisa hilang! Kalo nggak bisa? Apa Dita harus
seumur-umur pake rok panjang?!"


"Cewek yang selalu pake rok panjang belum tentu lebih
jelek dari cewek yang pake rok pendek, Dita! Apalagi anak
sekolahan!"
"Uh, bilang aja Mama nggak sayang Dita lagi!"
"Dita! Kok, kamu ngomong begitu?"
"Mama sih, nggak pernah mau serius nolongin Dita. Bujuk
papa, kek!"
"Ya udah. Nanti Mama bujuk papa buat mengoperasi
plastik kedua lututmu, biar bekas korengnya nggak kelihatan
lagi!" "Nah! Gitu, dong!"
TERNYATA, papa nggak setuju kalo Dita harus operasi
plastik segala. Papa justru menyarankan agar Dita bersabar.
Kata papa, seperti kata mama tempo hari, bekas koreng yang
tumbuh di kedua lututnya bisa hilang sendiri.
"Kalo nggak diobatin mana bisa hilang, Pa?!" protes Dita,
dengan mulut manyun.
"Papa juga dulunya sering korengan di lutut. Nih, lihat lutut
Papa! Waktu seumuran kamu, papa masuk tim sepak bola,
jadi penjaga gawang. Papa sering jatuh hingga lutut Papa
sering luka. Dulunya juga pernah korengan kayak lutut kamu.
Tapi, lama kelamaan hilang sendiri!Nih,lihat!"Papa
menunjukkan lututnya pada Dita.
"Ih, lutut Papa kan, item! Lagian, Kaki Papa banyak
bulunya! Jadi nggak keliatan bekas korengnya! Kalo lutut Dita
putih mulus, Pa! Dan nggak ada bulunya! Pasti bekas
korengnya nggak bakalan bisa ilang!"
"Waduh, Ta! Kamu kok, menghina Papa, sih?! Ya udah,
deh! Yang jelas,Papa belum punya uang buat biaya operasi
lutut kamu! Papa sarankan, kamu cari dulu obat-obat murah,
lotion atau apa kek, yang bisa menghilangkan bekas koreng
itu!"


"Iya, Ta. Mending kita cari cara lain dulu sebelum
dioperasi! Dan sebelum bekas koreng itu benar-benar hilang,
kamu pakai rok panjang dulu!"
Dita nggak menjawab, tapi cuma cemberut. Abis, mau
gimana lagi kalo papa diam, mama nggak punya uang buat
operasi lutut itu. Akhirnya, ia menghubungi sahabat-sahabat
dekatnya, siapa tahu bisa mencarikan jalan keluar.
"Gue rasa, mama-papa elo bener, Ta. Sebaiknya, elo
berobat luar dulu, daripada mikirin biaya operasi yang pasti
mahal itu," saran Titi.
"Bener, Ta! Nanti kita cari di apotek aja, siapa tau ada obat
yang bisa menghilangkan bekas koreng elo," ujar yang lain.
"Minum suplemen bervitamin E aja, Ta!" tambah yang
lainnya lagi.
SETELAH keluar masuk apotek, ternyata Dita nggak
nemuin obat yang mujarab buat musnahin bekas koreng
terkutuk itu dari kedua lututnya. Dita sungguh merasa tersiksa
lahir batin karena ulah bekas koreng itu. Sepertinya,memang
nggak ada jalan lain kecuali operasi plastik! Uh, kalo aja papa
dan mama mau membiayainya.
Karena bekas koreng itu belum juga hilang, akhirnya Dita
selalu pakai rok panjang. Dita pernah mencoba pakai rok
pendek. Tetapi, setiap kali ia melihat bekas koreng itu, ia
segera menggantinya lagi dengan rok panjang. Rasanya
bener-bener jelek kedua lututnya ini,yang keduanya dihiasi
oleh bekas koreng.
Dita jadi nggak pernah lagi mengikuti kegiatan-kegiatan di
luar sekolah sejak ia pake rok panjang. Ia enggan ikut
cheerleader lagi dan menolak setiap anak-anak mengajaknya
ke pesta.Ia malu nongkrong di mal seperti dulu. Karena
menurutnya, memakai rok panjang itu kayak dandanan ibu-ibu
arisan yang pakai kain dan kebaya! Dengan begitu, Dita nggak
lagi berpikir tentang cowok.


Menurutnya, tak ada lagi cowok-cowok keren suka
padanya. Sebab, meskipun Dita lumayan manis, ia punya
bekas koreng di kedua lututnya. Termasuk Pepen, cowok
sekompleks yang udah jarang main lagi bersamanya. Mungkin
Pepen tahu kalo lutut Dita pernah korengan?Wah,nggak
bertanggung jawab amat tuh cowok!
Tetapi ternyata, Dita ngerasa terheran-heran ketika suatu
hari mendapat sepucuk surat di kolong mejanya. Apalagi surat
itu dari Acid! Siapa sih, yang nggak kenal Acid, jagoan ngeband
di sekolahnya?! Yang kalo udah nyanyi, suaranya bisa
bikin penonton cewek berteriak-teriak his-teris!
"Gue rasa, Acid emang ada hati ke elo, Ta!" ujar Titi, saat
mendengar cerita Dita. "Soalnya, Acid sering nitip salam lewat
gue!"
"Ah, masa?! Kok, elo nggak pernah cerita?"
"Abis, gue juga suka sama Acid!"
"Ya udah, elo ambil aja!"
"Eits, bentar dulu, Ta!" Titi menarik lengan Dita yang
ngambek itu. "Sekarang, gue sadar, Ta. Kalo Acid itu lebih
suka sama elo daripada gue. Seperti yang ada di surat elo itu.
Acid suka sama cewek yang pake rok panjang kayak elo. Dan
dia justru benci sama cewek yang pake rok mini kayak gue!
Uh, sebel! Kalo tau begitu, gue pasti selalu pake rok panjang
terus!"
"Ya udah, Ti! Elo pake rok panjang terus aja kayak gue!"
"Udah terlambat, Ta! Nanti dikiranya gue pake rok panjang
gara-gara Acid, lagi!"
"Tapi, Acid tau nggak ya, kalo gue pake rok panjang
karena punya bekas koreng di kedua lutut gue?!"
"Wah, gue nggak tau!"
"Kalo dia tau, gimana?!"
"Elo jujur aja!"


Akhirnya, Dita emang bener-bener jujur ketika ketemu
Acid. Dan ternyata, di luar dugaan Dita,Acid nggak peduli
apakah lutut Dita ada bekas korenga-nya apa nggak.Sebab
Acid bilang,Dita tetep terlihat manis di matanya, meskipun
apakah ia pernah korengan apa nggak!
Uh, akhirnya Dita sangat bersyukur pernah memiliki
koreng. Sebab, kalo nggak pernah korengan dan akhirnya
berbekas, belum tentu Dita punya te-men cowok sebaik dan
se-oke Acid. Kalo dulunya Dita nggak punya bekas koreng,
belum tentu Dita selalu pake rok panjang ke sekolah!
Pada akhirnya, setelah sering jalan bareng pas pulang
sekolah, Dita dan Acid jadian. Dita seneng bukan main. Ia pun
menceritakan sama papa dan mamanya. Dan bisa diduga,
papa dan mamanya nggak setuju!
Papa dan mama yang sekarang ini udah punya dana buat
ngoperasi bekas koreng kedua lutut Dita itu, nggak rela Dita
punya pacar. Mereka membujuk Dita buat mutusin
hubungan.Sebagai imbalan, bekas koreng kedua lututnya itu
akan dioperasi plastik!
"Dita udah nggak butuh lagi operasi-operasian, Pa, Ma!"
"Kamu nggak nyesel?!"
"Nggak, Ma!"
"Ya udah! Kamu boleh berteman dekat dengan cowok, tapi
harus hati-hati!"
"Iya, Pa! Tenang! Nanti, Dita ngenalin Acid ke Papa dan
Mama!"
Mendengar penjelasan Dita, papa dan mama nyerah.
Namun, papa dan mama nggak ngerti mengapa tiba-tiba Dita
berubah pikiran. Menga-pa Dita nggak mau dioperasi seperti
yang pernah ia inginkan.
"Jadi, elo nggak mau bekas koreng di kedua lutut elo
diilangin, Ta?!"


"Bukannya nggak mau, Ti! Nih, elo liat sendiri!" Dita
membuka rok panjangnya hingga ke atas lutut.Ternyata ...
kedua lututnya yang bagus ... nggak ada bekas korengnya
lagi. Lututnya mulus seperti nggak pernah korengan!
"HAH! Bekas koreng elo udah nggak ada! Kok, papa sama
mama elo nggak tau?!"
"Ssst! Yang tau cuma elo dan Acid, ya! Nanti kalo Acid
dateng ke rumah, baru gue kasih tau mereka. Biar surprise"
"Terus, elo kok, nggak pake rok pendek lagi?!"
"Nggak, ah!"
"Pasti karena Acid, ya?!"
"Nggak juga! Acid juga suka kok, gue pake rok pendek.
Asal nggak kependekan. Dan, sebenernya justru Acid yang
nganter gue ke dokter spesialis kulit waktu gue terus terang ke
dia, kalo gue punya bekas koreng!"
"Hah?! Beruntung banget elo punya koreng."
"Hus!"
"Eh, maksud gue ... punya cowok care kayak Acid!"
"Ini kan, yang disebut hikmah, Ti! Acid bilang, setiap apa
yang terjadi menimpa kita, meskipun musibah sekalipun,pasti
ada hikmahnya! Gue bersyukur banget pernah punya koreng
di kedua lutut gue!"
"Aaah mau dong, punya koreng!"
"Hus! Apa-apaan, sih?! Punya koreng tuh nggak enak,
tau!"
"Iya! Gue cuma bercanda. Sekarang, gue ngerti. Gue yang
pernah sombong karena nggak pernah punya koreng kayak
elo, ternyata nggak lebih beruntung dari elo!"


Ojek Cewek
DPA yang bisa dilakukan cewek sebatangkara yang nggak
punya lagi sanak saudara? Apakah harus mengemis? Apakah
harus merengek-rengek minta tolong pada orang-orang yang
ditemuinya? Atau, datang ke yayasan untuk sekadar
mendapat bantuan dana?
Nggak. Tatu nggak mau melakukan itu semua. Tatu adalah
seorang cewek yang kuat. Tatu yang sempat menangis
bermalam-malam karena teman, kerabat, dan seluruh
keluarganya tewas secara mengenaskan di Aceh itu, tetap
sabar dan tabah menjalani hidup. Tatu harus bisa survive.
SIANG cukup terik. Tatu pulang dari sekolah dengan perut
kosong. Nggak ada uang sepeser pun yang tersisa di rumah
kosnya. Mestinya, hari ini kiriman wesel dari Aceh udah tiba.
Seharusnya, semuanya baik-baik saja kalo gempa dan
gelombang tsunami enggak meluluhlantahkan rumah
keluarganya di Banda Aceh.
Di tempat kosnya ini, Tatu nggak tinggal sendirian. Tatu
yang sekolah di sebuah SMA di pinggiran Jakarta, ikut
keluarga kakaknya. Namun, kakak dan istri serta anakanaknya
saat ini tengah berkunjung ke Aceh menengok
keluarga besar yang jadi korban tsunami.
Tatu kini sendirian dan nggak ikut sama kakaknya pulang
ke Aceh, karena Tatu nggak ingin bolos sekolah. Lagi
pula,kakak Tatu berjanji nggak lama di Aceh,nggak lebih dari
dua minggu. Dan yang terjadi, hingga saat ini Tatu nggak
pernah dapat kabar dari kakaknya, ataupun keluarga lainnya.
Sejak sambungan telekomunikasi diberitakan terputus, Tatu
nggak pernah mendapat kabar apa pun. Dan kini, semuanya
udah jelas.Tatu nggak bakalan dapat kabar dari keluarganya.
Tatu bisa lihat sendiri melalui televisi, kalo daerah tempat
rumahnya berada, kini udah rata dengan tanah.
Siang ini, Tatu harus mengisi perutnya. Tatu udah
mempersiapkan segala sesuatunya untuk bisa bertahan hidup.
Kakak Tatu memiliki sepeda motor. Tatu jago naik sepeda


motor dan mau coba jadi pe-ngojek motor buat cari uang, buat
nyambung hidup. Caranya gampang,Tatu ikut mangkal di
tempat ojek!
Apakah bisa?
Selama ini, memang nggak pernah ada cewek jadi tukang
ojek motor di daerah tempat tinggalnya. Dan Tatu sebenarnya
nggak mau membuat sejarah. Tatu nggak mau disebut
sebagai cewek yang memelopori pengojek cewek. Makanya,
Tatu memutuskan akan merombak penampilannya jadi cowok!
Nggak susah bagi Tatu. Tatu punya jaket dan topi serta
kacamata hitam yang bisa menipu mata calon penumpang.
Tatu adalah cewek Aceh yang kulitnya lumayan gelap.
Wajahnya nggak secantik Cut Tary, atau Cut-Cut artis lainnya.
Boleh dibilang, Tatu memang lebih mirip cewek kelahiran
Jawa. Bisa jadi, karena ayah Tatu yang pensiunan tentara itu
emang orang Jawa yang menikah dengan cewek Aceh.Gen
ayah lebih kuat dari ibu. Tatu pun terlahir sebagai blasteran
Jawa-Aceh.
Selama ini, Tatu nggak pernah mengeluh kalo dirinya
nggak secantik teman-temannya, atau artis sinetron Aceh
yang cantik-cantik itu. Dan saat ini, Tatu justru bersyukur pada
Tuhan, karena dikarunia bentuk serta raut wajah seperti yang
kini dimilikinya. Penyamaran yang Tatu lakukan akan berjalan
dengan baik dan lancar.Tatu akan menjadi pengojek dengan
penampilan cowok.
NGGAK akan ada orang lain yang tau siapa Tatu, kecuali
Pak Anggoro. Pak Anggoro adalah lelaki tua yang udah lebih
dari sepuluh tahun menjadi tukang ojek. Pak Anggoro tinggal
nggak jauh dari rumah kos kakak Tatu. Tatu udah bilang ke
Pak Anggoro, kalo ia mau ngojek. Pak Anggoro nggak percaya
apa yang dikatakan Tatu. Dan tentu saja, Pak Anggoro nggak
pernah nyadar kalo Tatu itu cewek Aceh yang keluarganya
habis diterjang gempa dan gelombang tsunami.


"Nak Tatu mau ngojek? Mana mungkin bisa? Nak Tatu
kan, perempuan ...?" ujar Pak Anggoro, ketika Tatu
mengutarakan isi hatinya.
"Tatu bisa kok, Pak. Ngojek itu kan, yang penting bisa naik
motor. Dan aku juga bisa. Bapak lihat sendiri, gimana aku naik
sepeda motor?"
"Ya. Bapak sering lihat kamu naik sepeda motor. Tapi
"Udahlah ... aku bisa kok, ngubah penampilan jadi laki-laki.
Itu masalah kecil." "Tapi
"Bapak nggak usah khawatir. Yang penting, aku diberi
kesempatan untuk ikut ngojek di pangkalan."
Pak Anggoro menatap wajah Tatu dengan luar biasa
herannya. Pak Anggoro seperti nggak ngerti kenapa Tatu
begitu memaksakan diri untuk bisa menjadi tukang ojek seperti
dirinya.Hingga akhirnya, Pak Anggoro jadi merasa kasihan
melihat Tatu.
"Kalo kamu butuh uang, Bapak mau kok, minja-min uang."
"Aku nggak mau menyusahkan Bapak."
"Kalo cuma buat makan sih, Bapak punya. Memangnya,
saudara-saudara kamu pada ke mana? Kayaknya, beberapa
hari ini Bapak nggak melihat orang-orang yang tinggal bareng
kamu."
Tatu jadi gugup mendengar pertanyaan Pak Anggoro. Tatu
takut Pak Anggoro tahu kalo dirinya anak Aceh yang seluruh
keluarganya telah musnah.
"Pak Anggoro tahu, kalo saya dan kakak saya itu
pendatang baru di daerah ini. Nah, sekarang ini
kakak saya sedang ke rumah famili di Sumatra. Kalo kakak
saya kembali, saya juga nggak mau menjadi tukang ojek. Pasti
kakak saya marah besar."
"Ke mana kakak kamu? Ke Sumatra?"
Tatu mengangguk pelan. Setelah itu, Tatu menunduk.


Pak Anggoro kembali berkata, "Mudah-mudahan bukan ke
Aceh atau ke Sumatra Utara yang kena musibah itu. Baiklah,
kalo kamu ngotot mau ngojek, silakan. Tapi ingat ya, kamu
harus ngubah penampilan seperti laki-laki. Ya udah, Bapak ke
pangkalan dulu. Nanti, kamu nyusul saja! Kalo ada apa-apa,
bilang,Pak Anggoro yang punya pangkalan ojek!"
Tatu mengangguk. Tak terasa, air mata haru tumpah ke
pipinya.Tatu segera melangkah ke kosan sambil melap air
matanya. Ia akan merombak penampilannya menjadi cowok.
Di kamar kosnya, Tatu menatap dirinya di cermin.
"Aku ini cewek Aceh! Aku harus kuat.Aku harus seperti Cut
Nyak Dhien! Harus setegar Cut Meutia! Aku nggak mau jadi
cewek Aceh yang lemah! Aku nggak mau ngemis-ngemis
sama orang lain. Beruntung kakak punya sepeda motor. Aku
siap mencari rezeki yang udah di-siapin Tuhan."
Memang, jalan satu-satunya bagi Tatu adalah menjadi
tukang ojek. Semua makanan dan minuman yang ada
dikosannya udah ia habiskan. Tatu nggak mau menjual
barang-barang yang ada di rumah kos kakaknya. Sebab, Tatu
merasa bertangung jawab menjaga barang-barang ini, dan
masih memiliki harapan, kelak kakaknya akan pulang
membawa seluruh keluarga,datang dari Aceh berkunjung ke
rumah kos di pinggiran Jakarta. Tatu pun berharap semua
orang yakin kalo keluarganya bukanlah orang GAM. Sehingga,
nggak harus repot-repot mendapat pemeriksaan di
perbatasan, seperti yang selama ini dikeluhkan keluarganya.
Tatu udah siap bertempur di pangkalan ojek. Jilbabnya
udah tertutup rapi oleh topi. Setelah itu, ditindih dengan helm.
Karena Tatu anak baru di sekolahnya, mungkin juga nggak
akan ada seorang anak pun yang menyangka ada anak cewek
jadi tukang ojek!
Setelah selesai menghias penampilan wajah, Tatu
mengambil jaket kakak laki-lakinya. Lalu, memakainya dengan
kerah dibiarkan berdiri. Sepatu kets dan celana jins yang
kebesaran pun dikenakannya. Jadilah Tatu sebagai tukang


ojek yang siap menarik penumpang.
Tatu bergegas menghidupkan sepeda motor. Dan
berangkatlah ia mencari uang.Tiba di pangkalan ojek langsung
bertemu dengan Pak Anggoro. Kalo bukan Tatu yang menegur
lebih dulu, Pak Anggoro enggak akan mengenali. Sebab,
penampilan Tatu benar-benar seperti tukang ojek kebanyakan.
"Kamu ...." Pak Anggoro geleng-geleng kepala. "Kamu
bener-bener luar biasa. Bapak jadi ingat sama pahlawanpahlawan
perempuan tem-po dulu!"
Tatu cuma tersenyum.
Beberapa saat kemudian, tukang ojek lainnya mengerubuti
Tatu dan Pak Anggoro. Pak Anggoro pun mengenalkan Tatu
pada semua tukang ojek sebagai keponakannya. Tukang ojek
itu mengangguk-angguk mengerti meskipun mungkin merasa
keberatan karena ada saingan baru.
SETENGAH hari Tatu ngojek. Tatu bersyukur karena bisa
membawa cukup banyak penumpang. Di antara penumpangpenumpang
itu, Tatu menarik penumpang yang tak lain teman
sekolahnya, dan ada juga gurunya.
Mereka nggak mengenali Tatu! Ini benar-benar luar biasa.
Ternyata, doa Tatu dikabulkan Tuhan. Tatu memang berharap
semua orang, kecuali Pak Anggoro, nggak mengenali dirinya.
"Gimana, Nak ... lumayan hasil ngojeknya?"
"Alhamdulillah, ini semua berkat bantuan Pak Anggoro."
"Kalo kamu masih mau ngojek, besok kamu bisa ngojek
lagi." "Boleh?"
"Ya, boleh! Yang penting, sekolah kamu nggak keganggu."
Sepulang ngojek, Tatu mampir di tempat makan. Di tempat
makan itu ada televisi. Kebetulan, menyiarkan tentang gempa
dan gelombang tsunami yang terjadi di Aceh. Tatu cuma
melirik layar televisi itu sebentar, Tatu tak kuasa berlama-lama
menyaksikan orang-orang di daerah-nya yang terlihat sangat


menyedihkan.Setelah makan, Tatu bergegas menuju rumah
kosnya. Tatu berpikir, seandainya ia terus menjadi tukang
ojek, Tatu yakin ia bisa menghidupi dirinya. Seperti Pak
Anggoro yang mengaku sebagai pensiunan pegawai negeri
rendahan, yang ternyata mampu mencari tambahan
penghasilan jadi tukang ojek.
Sepanjang perjalanan menuju rumah kosnya, Tatu
menemui banyak panitia penggalangan dana Aceh. Setelah
membayar makanan di warung makan tadi, Tatu masih
memegang sisanya. Tatu udah menghitung-hitung, bisa untuk
makan pagi dan ongkos ke sekolah besok. Dan itu pun masih
ada sisanya sedikit.
Pada salah satu peminta-minta amal untuk korban Aceh di
pinggir jalan itu, Tatu merogoh saku jaketnya. Lalu,
mengeluarkan sedikit uangnya untuk disumbangkan ke Aceh.
Tatu sungguh bersyukur bisa membebaskan dirinya dari
bantuan orang lain, dan bahkan mampu membantu saudarasaudaranya
yang tertimpa musibah, meskipun tak banyak.
Tatu merasa harus jadi cewek Aceh yang tegar dan kuat,
dan tak pernah jadi lemah, seperti tokoh-tokoh pahlawan
wanita asal Aceh yang terkenal gigih dan nggak kenal putus
asa.


Aku Ingin Kau Membenciku
KURASAKAN malam semakin pekat. Awan hitam
menggulung cakrawala, melenyapkan cahaya rembulan dan
bintang gemintang. Angin berembus perlahan, membuat sampah
plastik beterbangan.
Kuperhatikan para pedagang kaki lima mulai merapikan
dagangannya, berkemas-kemas untuk pulang. Aku berada tak
jauh dari mereka, menyandarkan tubuh pada sebuah dinding
ruko. Napasku turun naik begitu cepat, seiring degup jantung
yang berdetak-detak. Kuremas-remas kepalaku, sesekali
membenturkannya ke tembok. Pusing!
Aku berjalan menyusuri jalan-jalan di sepanjang ruko-ruko
untuk menghilangkan penat. Para pedagang makanan,
warung-warung tenda, satu demi satu meninggalkan tempat
mereka berdagang. Aku sendiri terus saja berjalan, melangkah
tiada tujuan. Pikiranku kembali teringat pada kejadian tadi
sore, ketika Anna menemuiku di tempat aku biasa parkir.
Anna, dengan sedan BMW-nya, menemuiku dengan
bermaksud mengajakku jalan-jalan. "Cuma nemenin aku,
Kum," bujuk Anna. "Aku nggak bisa, An."
"Kenapa?"
"Ya ... nggak bisa."
"Mesti ada alasannya, dong!"
"Nggak bisa ... ya, nggak bisa aja."
"Oke deh, gini aja, sore ini kamu nganter aku, ntar
pulangnya aku kasih ongkos, lebih besar dari pendapatan
parkir kamu sore ini! Gimana?"
"ANNA?!" aku berteriak, ngerasa tersinggung.
"Maaf, Kum, aku cuma pengin kita jalan-jalan. Itu aja."
"Tapi, bisa di lain waktu. Nggak harus sekarang, kan?"
Anna memandangku sesaat, lalu menepiskan tangannya
dengan raut wajah marah. "Kalo nggak mau, ya udah!"


Anna membanting pintu sedannya, lalu melajukannya ke
luar areal parkir warung tenda yang terletak di sekitar rukoruko
itu.
"Kum, Markum! Cewek bening gitu kok, disia-siain?!"
ledek Kang Asep, penjual sea food yang tadi mergokin aku
sama Anna.
Aku nggak meladeni Kang Asep. Menghela napas sebentar
yang terasa sesak, lalu meninggalkan areal parkir.
Sejak kelas dua SMP, aku udah menjadi tukang parkir.
Menjadi tukang parkir kulakoni demi menyambung hidup diri
dan keluargaku. Membiayai sekolahku,adik-adikku,dan ibuku
yang sakit-sakitan. Saat ini, aku kelas tiga SMA. Aku bangga
karena mampu membiayai sekolah sendiri. Dua adikku yang
beranjak besar, mengikuti jejakku menjadi tukang parkir.
Maka, sedikit demi sedikit, pengeluaranku berkurang. Namun,
sejak ibuku berobat jalan, aku harus lebih giat lagi. Kalo biasanya
aku pulang pukul sepuluh malam, kini aku baru kembali
pukul dua belas. Kalo biasanya aku mengantongi dua puluh
lima ribu, aku bisa mendapat tiga puluh lima sampai lima puluh
ribu rupiah. Apalagi kalo malam Sabtu atau malam Minggu,
aku bisa mendapat lebih dari itu. Dengan begitu, aku bisa
mengatasi biaya pengobatan ibu.
Hanya, kalo aku pulang malam, besoknya Tetapi semua
temanku maklum, karena mereka tahu bahwa aku adalah
seorang tukang parkir yang pulang larut malam! Termasuk
Anna.
Anna adalah teman sekolahku, hanya berlainan kelas.
Anna tahu kalo aku ini tukang parkir. Tapi, itu tak menyurutkan
dirinya temenan denganku. Semua anak di kelasku akhirnya
tahu kalo Anna suka padaku. Begitupun aku, senang punya
temen secantik dirinya. Hanya, aku selalu merasa nggak enak
berdua-duaan sama Anna, cewek cakep anak orang kaya itu.
Semua teman di sekolahku mengatakan bahwa aku
memiliki wajah yang lumayan tampan. Selain itu, tubuhku
atletis dan berisi. Aku jago taekwondo dan basket. Di sela-sela


markir, aku berlatih main basket di areal parkir. Untuk latihan
taekwondo, aku menyempatkan ikut latihan setiap Minggu
pagi. Sejak ikut latihan kelas dua SMP, kini aku menyandang
sabuk hitam dan dua!
Perihal hubunganku sama Anna, bukan rahasia lagi.
Karena akhirnya semua anak di sekolah, guru-guru, para
pemilik warung tenda di tempat aku biasa parkir, tahu kalo
Anna kekasihku. Bahkan, ibuku pun tahu. Sebab, bukan sekali
dua kali Anna datang ke rumahku. Anna sempat masuk
sekolah, aku pasti mengantuk di kelas, pula mengantar ibuku
ke rumah sakit dengan sedannya.
Namun begitu, tampaknya kedua orangtua Anna nggak
suka Anna berhubungan denganku. Orang tua Anna
mengetahui hubungan putrinya dari Alek, salah satu cowok
sekelas Anna. Alek cukup tampan dan berada. Hobinya motor
sport dan nge-track di jalan raya.Teman-temanku bilang,Alek
udah lama naksir Anna. Tapi, Anna nggak
menanggapi.Malah,Anna pernah mengatakan padaku bahwa
ia nggak suka Alek. Anna bilang, ia sangat mencintaiku.Ia
nggak peduli meskipun aku ini tukang parkir!
Sebaliknya, akhir-akhir ini, aku yang selalu menghindari
Anna. Dengan berbagai alasan, aku selalu menolak kalo Anna
menemuiku di luar sekolah. Apalagi harus jalan-jalan
berduaan, seperti yang diinginkan Anna sore ini. Hal itu
kulakukan karena aku mendapat ancaman dari orangtua
Anna,yang mendampratku di tempat parkir.
Ketika itu,aku tengah sibuk memarkir kendaraan seperti
biasa. Tiba-tiba, seseorang dari dalam salah satu mobil yang
tengah parkir memanggilku.
"Kamu yang bernama Markum, ya?!" tanya seorang lakilaki
berkepala botak dari dalam mobilnya. "Kenalkan, saya
papinya Anna! Saya tahu, kamu suka mengganggu putri saya!
Apa kamu nggak pernah ngaca, siapa diri kamu? Mulai
sekarang, jauhi putri saya! Kalo nggak, kamu akan berurusan
dengan polisi! Nih, kembaliannya ambil!"bentak laki-laki yang


mengaku orangtua Anna itu, sambil melempar uang dua puluh
ribu rupiah padaku.
Aku nggak ngambil uang itu. Membiarkan lembaran
bergambar Ki Hajar Dewantara terhempas di aspal. Temanku
Ipen, seorang tukang parkir lainnya, mengambil uang itu lantas
mengembalikannya padaku.
"Ambil aja! Buat anak-anak!" kataku pada Ipen.
Sejak saat itu, aku yang sebenarnya mencintai Anna,
berusaha untuk menghindar. Aku nggak peduli meskipun ia
selalu mendekatiku. Aku nggak peduli meskipun ia selalu
mengajakku pergi. Aku nggak peduli meskipun sesungguhnya
hatiku begitu berat menolak setiap ajakannya. Aku nggak
peduli menolaknya meskipun sesungguhnya aku begitu
mencintainya. Aku nggak peduli! Aku ingin, ia tak mencintaiku!
"Apakah kamu udah nggak suka sama aku lagi, Kum?"
tanya Anna siang itu, di kantin sekolah. "Aku suka kamu, An!"
kataku, jujur. "Lalu, kenapa kamu selalu menolak ajakan-ku?"
"Belum saatnya, An." "Belum saatnya?" "Ya."
Anna nggak tau kalo orangtuanya mendampratku di areal
parkir. Anna nggak pernah tau kalo orangtuanya sering
mengancamku, melalui Alek. Sebaliknya, aku nggak pernah
menceritakan perihal ini. Aku khawatir Anna akan marah pada
orangtuanya bila kuberitahukan hal itu.
Aku masih berjalan sendirian, menyusuri jalan di
penghujung malam. Hujan tiba-tiba turun, ditandai dengan
gemuruh halilintar. Langit akhirnya menangis,seperti ingin
berbagi kesedihan.Aku berteduh di sebuah emperan
swalayan, duduk di sana dan menunggu hujan reda.
Lima belas menit kemudian, aku udah kembali berjalan,
entah ke mana, yang aku sendiri nggak tau. Aku nggak peduli
malam masih menyisakan gerimis, aku melangkahkan kaki
mengikuti jalan raya dengan hati giris. Pikiranku kembali pada
Anna, cewek cantik yang telah membuat perasaanku gundah
gulana. Ingin kukatakan bahwa sesungguhnya aku
mencintainya.Tapi,aku nggak mampu, bukan karena aku takut


pada orangtuanya.Tetapi, aku menuruti pesan ibuku, agar aku
nggak terlalu serius berhubungan dengan cewek.
"Berteman boleh-boleh saja, tapi ada batasnya. Kamu
harus lebih banyak konsentrasi pada sekolah dan
pekerjaanmu! Ingat, kamulah harapan Ibu satu-satunya. Kamu
harus lulus sekolah. Kalo gigih, kamu pasti mampu! Meskipun
cuma tukang parkir, kalau kamu sungguh-sungguh, kamu pasti
bisa, Kum! Seandainya bapakmu masih hidup, beliau pasti
bang-ga."
"Ibu jangan berkata begitu. Biarlah bapak tenang di
alamnya. Markum janji akan menuruti pesan Ibu," jawabku
waktu itu.
"Maaf ya, Kum?! Ibu harus melarangmu seperti ini. Apa
yang Ibu katakan, semuanya demi kemajuan kamu. Satu hal
lagi Kum, tentang Anna. Kalo bisa, sebaiknya kamu jangan
terlalu serius dengannya. Dia itu berbeda dengan kita. Antara
kita dan dia itu ibarat langit dan bumi. Kamu harus
memperlakukannya dengan baik. Meskipun Anna baik sama
kitajangan sekali-kali kamu berpikir, berandai-andai suatu saat
ia jadi pendamping hidupmu. Kecuali jika kamu bisa
membuktikan, keluar dari kesulitan ini. Oleh karena itu,
konsentrasilah pada sekolah dan pekerjaanmu."
Aku kembali tersadar dari lamunan dan masih berjalan
sendirian, menyusuri jalan aspal yang basah. Tak kuhiraukan
gerimis yang mulai membasahi tubuhku. Aku tetap berjalan,
menembus kegelapan malam yang gerimis. Aku masih tetap
nggak mampu keluar dari bayang-bayang Anna. Entah
kenapa, sekarang baru kusadari. Semakin aku berusaha
melupakannya, aku semakin rindu padanya. Semakin
kutekadkan diri untuk nggak mencintainya, aku semakin
merasa tersiksa. Apakah harus kukatakan sejujurnya bahwa
aku sebenarnya sangat mencintai Anna, dan selalu kuturuti
setiap ajakannya?
Aku nggak tau dan bingung. Mungkin aku memang cowok
bodoh. Aku benci sama semua ini! Ya Tuhan, mengapa
nasibku seperti ini? Mengapa aku nggak seperti teman-teman


sekolahku? Apakah seharusnya aku nggak sekolah saja?
Apakah seharusnya aku seperti teman-teman parkirku aja?
Nggak perlu susah-susah sekolah,karena sekolah cuma bikin
pusing aja?! Aku sendiri belum tau, apakah setelah lulus SMA
ini aku bisa langsung mendapatkan kerja, meneruskan kuliah,
atau tetap seperti ini, menjadi tukang parkir?
Menjadi tukang parkir pun nggak jelek-jelek amat.Tetapi
untuk apa aku sekolah,kalo tetap menjadi tukang parkir?
Temanku seperti Ipen dan Agus yang nggak sekolah pun bisa
jadi tukang parkir! Ya, TuhaniKalo saja ibu tidak menyuruhku
sekolah,udah lama aku berhenti sekolahIDan,mengapa Anna
harus mencintaiku?! Sialnya, aku pun nggak mampu
melupakannya. Aku nggak tau lagi gimana cara
menghindarinya.
Seminggu lalu, udah kucoba dengan cara memanasmanasinya
dengan cewek lain. Aku sengaja berjalan dengan
Lidya di depannya, dengan maksud memancing
kecemburuannya. Aku pun mengantar Lidya pulang sekolah.
Aku berharap ia terpancing. Aku ingin Anna membenciku. Biar
dia nggak usah datang-datang lagi menemuiku. Biar aku bisa
melupakan wajahnya dan lambat laun, aku bisa menghapus
keberadaanya, melenyapkan dirinya dari kehidupanku!
Tapi,Anna nggak cemburu! Anna nggak marah aku jalan
bareng Lidya. Anna nggak marah aku ngantar pulang Lidya.
Ketika itu, Anna justru menanyakan secara baik-baik sama
Lidya, tentang hubungan Lidya denganku. Uh, dengan jujur,
Lidya mengatakan bahwa antara aku dan dirinya nggak ada
apa-apa.Jadi, memang nggak ada alasan buat cemburu!
Lalu, gimana caranya agar Anna membenciku?
Apakah aku harus berpura-pura, mengatakan padanya
bahwa aku membencinya? Berbohong pada kata hatiku?!
Aku nggak mampu melakukannya. Kini, ketika semakin
jauh kumelangkah, aku nggak tau gimana jalan keluarnya.
Malam semakin larut, gerimis tak juga reda. Aku masih terus
berjalan tanpa tujuan dan berusaha untuk menenangkan


pikiran yang tak kunjung hilang. Berusaha untuk melupakan
Anna sekejap yang tak pernah bisa kulakukan.


Prom Night With Nira
BEBERAPA anak kelas tiga yang sebentar lagi berpisah,
bakal menggelar prom night. Rencananya, mereka menyewa
baiiroom sebuah hotel di pusat kota. Acara disusun
sedemikian rupa supaya bener-bener menjadi kenangan indah
yang tak terlupakan sepanjang masa. Seorang DJ Top udah
dihubungi, berikut beberapa penyanyi terkenal sebagai pengisi
acara.
Pokoknya, top abis, deh!
Ajeng, yang jadi ketua panitia, terlihat paling sibuk. Saat
ini, dia lagi mampir ke rumah Dea, ngo-mongin prom night.
"DJ oke, pengisi acara oke, susunan acara rapi, terus
Ajeng berhenti sebentar, "Apa lagi yang kurang?"
"Tema kostumnya, Jeng! Tema kostumnya!" tukas Dea
seraya menjentikkan jemarinya, sebagaimana seseorang
menemukan ide brilian."Maksud elo?"
"Pas prom night nanti, kita-kita mesti pake baju apa?"
"Bener juga. Punya ide, nggak?"
"Ada, sih. Kata majalah yang gue baca, ada beberapa
pilihan baju yang bisa kita pake pas prom night. Sweet prom,
Giam punk prom, Vintage prom, atau Eksentrik prom?"
"Wah, ribet juga, ya? Jelasin, dong satu-satu!" pinta Ajeng.
"Oke, deh, gue jelasin satu-satu, berdasarkan majalah
yang gue baca. Sweet prom itu, model bajunya lebih feminin
dan manis, seperti warna-warna pastel; hijau, biru, atau kuning
pastel. Sedangkan Giam punk prom, mentingin aksesori yang
keliatan nge-punk. Vintage prom, nah ini yang agak ribet!
Kayak pemakaian tiie pada roknya dan draperi atau kerutankerutan
pada atasannya. Dan gue rasa, saat kita make baju
seperti ini, kita akan terlihat anggun, hehehe ...!" Dea ketawa,
lalu narik napas panjang.
"Nah, yang satunya lagi?"


"O, ya. Eksentrik prom,,'Sesuai namanya, tentu kita bakal
banyak menarik perhatian mata. Sebab, baju yang kita pake
emang nggak standar! Keliatan eksentrik, gitu! Nih, contohcontohnya
bisa elo liat di majalah gue."
Kemudian, Dea mengeluarkan majalah dari rak. Keduanya
pun sibuk membolak-balik majalah itu, memilih baju apa yang
nantinya bakal mereka kenakan di acara prom night.
"Gimana kalo kita pake tema sweet prom aja?!" usul Ajeng
sambil menunjuk gambar sebuah gaun di majalah yang
dipegangnya.
"Oke banget, tuh!"
"Ya udah, kalo elo setuju, gue juga oke! Terus... pas acara
nanti, semua pada dateng, kan?"
"Beres! Anak-anak udah setuju semua, kecuali Nira, yang
mungkin nggak bisa dateng."
"Kenapa?"
"Gue nggak bisa ngejelasin detilnya. Kayaknya, elo yang
mesti ngebujuk dia!"
Ajeng pun menghela napas, begitu berat. Kalo sampe ada
anak kelas tiga yang nggak ikut acara prom night nanti,
kayaknya nggak sreg! Apalagi Nira, cewek paling jenius dan
terkenal kreatif itu!
"Kenapa ya, Nira nggak mau ikutan?" tanya Ajeng
akhirnya, setelah keduanya diam.
"Mungkin karena Nira nggak suka pesta, kali?" tebak Dea.
"Iya juga, sih. Nira emang antiparty1. Tapi, masa saat
malam perpisahan nanti dia nggak mau dateng?!"
"Kalo kamu bujuk, mungkin dia bisa ikutan kali?" usul Dea.
"Oke deh, gue coba."
Esok siang, saat bel istirahat, Ajeng nyari-nyari Nira di
tempat Nira biasa mangkal, di perpustakaan sekolah.


"Nira, saya mau ngomong, bisa?" ucap Ajeng, membuka
percakapan.
Nira yang lagi asyik ngebet-ngebet sebuah buku cukup
tebal, memberikan perhatian pada Ajeng. "Ada apa?"
tanyanya, terdengar begitu resmi.
"Begini, Ra," Ajeng sedikit nervous, harus bagaimana
menjelaskannya. "Ee mungkin kamu udah tau kalo aku ama
anak-anak mau ngadain prom night.Semua anak setuju dan
mau ikutan. Aku denger, cuma kamu yang nggak mau ikut.
Bener nggak, sih?" ucap Ajeng akhirnya.
"Ya. Terus, kenapa?" Nira balik tanya.
"Begini, Ra. Penginnya, semua anak kelas tiga bisa
ikutan,"ucap Ajeng, dengan penuh harap. Lalu, Ajeng menatap
wajah Nira yang tenang, seolah nggak memiliki rasa bersalah.
"Aku nggak bisa, Jeng!"
Ajeng menarik napas dalam-dalam, memperlihatkan
kekecewaannya.
"Boleh tau nggak, kenapa kamu nggak bisa ikutan?"
"Masalahnya, aku nggak suka sama format acara itu. Dari
namanya aja, prom night1. Aku yakin, kalian cuma tahu
namanya aja, prom night. Coba kalo kalian bikin dengan tema
'acara malam perpisahan kelas tiga1, misalnya, ada
kemungkinan aku bakal dateng!" jawab Nira sedikit antusias.
"Alasan kamu nggak ngena deh, Ra," celetuk Ajeng.
"Oke deh, kita bahas dulu, apa itu prom night. Asal kamu
tau, sebenernya prom night itu acaranya para ortu. Tradisi
prom night menurut buku Prom Night karangan Amy Best,
dimulai sejak awal abad ke-20. Tepatnya kira-kira tahun 192D,
di beberapa kota di Amrik, terutama di kota-kota industri yang
masyarakatnya kebanyakan bekerja sebagai buruh-buruh
pabrik. Nah, prom ini dibuat oleh masyarakat setempat
sebagai ajang mempertemukan cewek ama cowok yang
beranjak dewasa atau remaja.


Bisa dibilang, sebagai momen para ortu memperkenalkan
anak-anaknya. Kalo mau contoh bentuk awal prom, cek deh,
film The Deer Hunter. Nah, itulah alasan kenapa aku nggak
mau ikutan," ucap Nira dengan gaya seperti seorang guru
menerangkan pelajaran sejarah.
"Wah, kamu emang banyak tahu tentang segala hal, Ra.
Pantes kalo kamu dinobatkan jadi murid paling oke di sekolah
ini. Tapi, apa yang kamu kemukakan tadi nggak bisa dijadikan
alasan kenapa kamu nggak bisa ikutan," kata Ajeng, dengan
bibir bergetar.
"Udah bisa aku bayangin gimana acara yang kamu buat
nanti berlangsung! Aku juga tau kalo acara kayak gitu emang
udah populer dan dijadiin tradisi oleh muda-mudi di beberapa
negara. Satu hal yang perlu kamu tahu dari diri aku, bahwa
aku beda sama kalian! Aku nggak suka pesta! Dan, aku ...
seandainya bisa ikutan prom night ... nggak punya pasangan
seperti kalian!"
Sekarang, Ajeng benar-benar mengerti keadaan
sesungguhnya.
"Jadi, nggak ikutnya kamu dalam acara tersebut bukan
karena prom night itu budaya luar negeri, kan?" selidik Ajeng,
ketika Nira terlihat mulai melunak.
Nira terdiam. Keadaan menjadi hening. Belum sempat
berkata-kata, bel sekolah berbunyi tiga kali. Semua anak
meninggalkan ruang perpustakaan. Nira menutup buku
tebalnya, kemudian meletakkannya di atas meja. Ajeng
membantu Nira, menaruh buku itu di sebuah rak yang nggak
teraih tangan Nira. Setelah itu, Ajeng memegangi tubuh Nira
yang hendak kembali duduk di kursi rodanya. Tapi, Nira
menolak dengan halus.
"Maaf, Jeng! Aku bisa sendiri!" elak Nira, sambil berusaha
keras duduk di kursi rodanya. Pada saat itu, kursi rodanya
agak oleng sehingga keadaan tubuh Nira yang cacat sejak
lahir itu limbung. Untung, Ajeng bisa memegang erat-erat kursi
roda itu, hingga Nira bisa tertahan. Setelah itu, Ajeng


mendorong kursi roda keluar perpustakaan. Nira memegangi
tangan Ajeng, mengelus-elusnya sambil bilang, "Terima kasih,
Jeng."
Di luar perpustakaan, tampak Dea dan kawan-kawan yang
sejak tadi menunggu, merasa surprise melihat Nira dan Ajeng
keluar bareng. Mereka menduga-duga, barangkali Nira luluh
hatinya. Besar kemungkinan doi mau ikutan acara prom night
nanti.
SEMINGGU sebelum hari H,beberapa anak kelas tiga yang
jadi panitia prom night berkumpul, terutama membahas
masalah Nira. Sebab,mengenai format acara dan tetekbengeknya
udah oke semua.
"Mudah-mudahan Nira bisa ikutan!" terang Dea, pada
anak-anak lainnya.
"Kepengin gue, Nira mau ngebacain pusi karya-nya!"
sodok Galuh, sambil senyum-senyum.
"Kalo nggak, baca cerpen-cerpennya juga asyik, tuh!"
Cyntia menambahkan.
"Gimana kalo dia nyumbang satu lagu ciptaan-nya?" kali
ini, Meutia yang mengusulkan.
"Gue sih, setuju-setuju aja. Masalahnya, dia bener-bener
mau dateng, nggak?" akhirnya Ajeng komentar, membuat
anak-anak kembali jadi keliatan down.
Sebenarnya, seandainya Nira nggak ikutan prom night,
anak-anak panitia yakin acara itu meriah. Namun, kehadiran
Nira di acara itu sungguh berarti bagi mereka. Semua anak
kelas tiga pun pasti senang melihat Nira bersama mereka.
Nira adalah anak yang pandai dan serbabisa. Dia
seringkah mengharumkan nama sekolah. Cacat yang
dideritanya nggak menghalangi kreativitasnya. Sehingga,
berbagai penghargaan, dari soal seni budaya maupun ilmu
pengetahuan bisa diraihnya. Nira yang nggak mampu berdiri
itu, jago bikin puisi. Nira yang sehari-hari duduk di kursi roda
itu, langganan juara nulis cerpen. Bahkan, dia menjadi salah


satu peserta kompetisi fisika internasional! Itulah sebabnya,
sebagian anak-anak panitia ngotot menghadirkan Nira pada
acara itu.
"APAKAH semua anak mesti berpasangan?" tanya
Nira, pada Ajeng dan anak-anak panitia yang datang ke
rumahnya, yang nggak mau berhenti membujuk Nira.
"Nggak harus, Ra. Aku juga sendirian," ucap Ajeng.
"Jangan begitu, Jeng. Aku nggak mau gara-gara aku, Adit
yang jadi korban!" tukas Nira, yang tau banget kalo Ajeng dan
Adit udah lama pacaran.
"Kalo perlu, aku juga dateng sendirian!" ucap Dea tiba-tiba,
membuat anak-anak kebingungan.
"Bima mau dikemanain, Dea?!" kata Nira, sambil senyum.
"Ya, udah. Nggak usah basa-basi. Aku pasti dateng di
acara prom night nanti. Ada atau nggak ada pasangan.
Lagian, aku udah biasa sendirian, kok," ucap Nira akhirnya,
membuat Ajeng dan anak-anak nggak percaya. Mereka nggak
menduga kalo akhirnya Nira luluh juga. Barangkali karena
hampir semua anak memaksa Nira untuk hadir di prom night.
"Kamu mau dateng, Ra?" Ajeng melotot, masih nggak
percaya.
"Kamu bisa dateng?!" Dea ikutan terbelalak.
"Ya, aku pasti dateng!" Nira meyakinkan.
"Nira ... makasih, ya?!" semua anak memeluk Nira.
ACARA prom night pun berlangsung meriah. Semua anak
kelas tiga hadir. Termasuk Nira! Anak-anak menyambutnya
senang. Apalagi, ternyata Nira "dikawal" oleh Ahmad, cowok
paling ganteng di kelas tiga! Ahmad always berdiri di belakang
kursi roda Nira. Semua anak nggak nyangka, termasuk Ajeng
dan Dea.
"Ahmad ...!" mata Dea terbelalak.


"Bener kata gue, segala hal bisa terjadi tanpa kita duga!"
kata Ajeng, sok berfilosofis.
"Gue pikir, Ahmad bakal ngajak siapa, gitu," kata Dea lagi.
"Udahlah, emangnya kamu ngiri, ya? Bima mau
dikemanain?!" tukas Ajeng, bikin Dea me-rengut.
Semua anak, terutama cewek, nggak pernah nyangka kalo
Ahmad datang bareng Nira. Ahmad, salah satu cowok paling
keren di sekolah, rupanya sengaja datang menemani Nira atas
inisiatif sendiri. Ternyata, udah lama Ahmad membanggakan
sosok Nira.
Di tengah acara, Ajeng meletakkan mahkota kecil yang
anggun dan indah di kepala Nira. Nira di-Mnobatkan sebagai
prommiss, alias yang menjadi ratu di acara prom night kali ini!
Semua anak bertepuk tangan meriah buat Nira.
Acara ini pasti sungguh berkesan di hati Nira. Akhirnya,
Nira menyadari kalo selama ini anak-anak kelas tiga sangat
tulus menyayanginya. Yang jelas, pada akhirnya menjadi
begitu berat berpisah dengan mereka yang selama tiga tahun
ini bersamanya di sekolah.


Ehm...!
EHM ...!" Aku berdehem untuk mencari perhatiannya.
Celaka dua belas, dia masih tetep aja cuek. Aku berdehem aja
dia cuek, apalagi diem-dieman? Bisa makin diem aja ...!
Bener-bener cool banget tuh cowok!
"Ehm ...!"
Sekali lagi aku berdehem. Bukan untuk apa-apa, cuma
sekadar cari perhatian. Paling, nggak di-liriklah. Tapi, dia tetep
aja cuek dan sok serius dengan bacaannya. Aku jadi semakin
sebal dengan diriku Apakah aku nggak menarik di mata dia?
Sungguh, aku nggak tau gimana cara mencari
perhatiannya,menarik simpati agar dia mau bertegur sapa
denganku.Paling nggak,dia ngasih respons di-kit.Biar aku
nggak merasa dicuekin.Disepelein.Emang enak
dianggurin,dicuekin! Meskipun anggur itu enak, dianggurin tuh
jadi kayak sapi ompong! Beda banget dibanding diapelin!
Hah,diapelin? Boro-boro diapelin, kasih perhatian dikit aja
nggak!
"Ehm ...!"
Bujuk buneng! Aku bener-bener jadi mati rasa! Padahal,
dehemku udah digedein dikit volumenya.
Dia masih tetep aja cuek bebek. Aku jadi sebel sekaligus
penasaran.Padahal, di ruang perpustakaan ini cuma ada aku
dan dia. Aku duduk di tengah, sekitar tiga langkah dari posisinya
yang duduk di sudut.
Daripada capek hati, mending aku tinggalin dia aja. Uh,
tenggorokanku jadi sakit. Lebih baiknya aku ke kantin aja, deh!
Pengin minum cola. Siapa tau bisa bilang, "Hey! Hey! How are
you?!"
NGGAK biasanya, kantin sepi sekali. Aku cuma liat satu
cowok yang duduk di bangku panjang sambil ngangkat
sebelah kakinya. Posisi ini mirip orang lagi ngopi di warung
pinggir jalan. Tapi, cowok itu nggak lagi ngopi. Dia duduk
santai menikmati jus al-pukat yang tinggal sete-ngahnya.


Aku nggak terlalu kenal dengan cowok ini. Mungkin anak
kelas satu. Terlalu sulit bagiku menghafal cowok-cowok yang
ada di sekolah ini. Selain karena aku belum terlalu lama
berada di sekolah baru ini, mungkin juga karena aku cewek
yang nggak punya rasa pede tinggi.
Barangkali mama benar. Aku ini orangnya minder.
Oke, deh. Aku akan membuang jauh-jauh rasa minderku
ini. Kalo di perpustakaan tadi, aku gagal menarik perhatian
cowok yang menurutku lumayan keren. Sekarang, aku akan
mencoba mencari perhatian cowok keren lainnya yang lagi
duduk santai di kursi kantin ini!
Uh, begitu banyak cowok keren di sekolah ini. Masa nggak
ada satu pun yang bisa nyangkut? Hi hihi nyangkut kayak
jemuran aja!
Rasanya nggak mungkin kalo langsung kutanyakan
namanya. Hm, nggak etis banget deh, kalo cewek nanya
duluan. Ntar dikira sok akrab. Sok kenal. Atau, bisa jadi aku
dibilang cewek kegatelan! Sori, yah! Aku harus berusaha
mem-buat dia bertanya padaku lebih dulu! Gimana caranya?
"Ehm ...!"
Aku berdehem, mudah-mudahan dia melirik-ku. Kalo dia
melirikku, aku akan langsung tersenyum padanya! Tapi ...
setelah aku berdehem tadi, kok dia nggak menatap wajahku.
Dia cuma menoleh ke samping kiri dan kanan, lalu wajahnya
melongok ke kolong meja, seolah mencari-cari sesuatu!
Brengsek! Woooi ... aku di sini!!!
Lebih baik, aku pesan minum dulu, sambil nunggu dia
sadar kalo di kantin ada aku.
"Bu, cola satu!" lancar benar suaraku. Sengaja kukeraskan,
biar tuh cowok sadar ada cewek di kantin ini!
"Yang dingin apa biasa, Non?"
"Yang dingin! Berapa?!"
"Seribu tujuh ratus, Non!"


"Eits ..!" Aku mengeluarkan jurus-jurus silat, mendengar Bu
Kantin menyebut seribu tujuh ratus! Aku tau harga sebenarnya
seribu tiga ratus. Paling nggak, diluruskan jadi seribu lima
ratus!
"Hehehe ..., seribu lima ratus aja deh, Non!"
"Seribu tujuh ratus juga nggak pa-pa, Bu. Saya cuma
becanda."
Aku melirik lagi, berharap si cowok memerhatikan
keramahanku pada Bu Kantin. Tetapi, rasanya dia tetap pada
posisinya. Duduk dengan sebelah kakinya terangkat, dengan
tatapan wajah lurus ke luar kantin. Huah! Dia nggak peduli
dengan keberadaanku!
Setelah membayar, aku duduk selang dua meja dari si sok
cuek. Diam-diam, aku terus meliriknya, mencoba memasuki
alam pikirannya. Apakah yang sedang dilamunkan cowok ini?
Apakah ia tengah merasa gundah karena habis diputusin?
Atau mungkin tengah memikirkan bagaimana mendekati
seorang cewek pujaan hatinya? Entahlah. Aku nggak tau.
"Ehm ...!"
Aku berdehem untuk yang kedua kalinya, kembali berharap
agar si cowok melirikku. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya.
Kulihat dia meremas-remas rambutnya. Menundukkan kepala,
lalu membenamkannya di atas meja.
Aku nggak tau gimana caranya,agar dia kembali duduk
seperti semula. Kalo dengan posisi menunduk begitu, dia
nggak akan sempat melirik ke arahku. Menemukan seorang
cewek yang duduk sendirian dan ingin sekali disapa.
Setelah cukup lama memerhatikan dan si cowok nggak
juga mengangkat kepalanya, aku menyeruput minumanku.
Srooottt ....
Ah, mak'nyes rasanya! Cowok itu mengangkat kepalanya.
Duduk dengan posisi seperti semula, namun nggak lagi
mengangkat sebelah kakinya. Aku nggak tau,apakah


konsentrasinya terganggu karena mendengar suara tadi, atau
ia memang sengaja melakukan itu atas keinginannya sendiri.
Kupikir, inilah kesempatan emas bagiku. Barangkali cowok
ini udah mulai merasakan keberadaanku di dekatnya.
Selangkah lagi, dia akan benar-benar dapat kutaklukkan. Aku
berharap dia marah. Tak apalah dia marah. Nggak sedikit film
bertema cinta yang kutonton, yang memulai hubungan kasih
dengan kemarahan. Seperti ungkapan "benci" yang bisa
diartikan sebagai "Benar-benar cinta ...."
"Ehm ..!"
Tak sengaja,dehemku keluar begitu saja.Kulirik cowok itu
menghela napas panjang, lalu pergi begitu saja
meninggalkanku kantin! Meninggalkan seorang cewek yang
tengah berusaha mati-matian menarik perhatiannya!
Apakah aku harus tersinggung? Apakah aku harus marah?
Marah sama siapa? Apakah aku harus marah pada diri
sendiri? Rasanya, percuma aku marah-marah sendiri. Lebih
baik kutinggalkan kantin ini. Mungkin lebih baik kalo aku
melihat anak-anak yang tengah menyaksikan pertandingan
bola basket antar kelas. Apakah aku harus nonton bola
basket?! Aku nggak suka basket! Aku ke kelas aja!
Setibanya di kelas, aku duduk di kursi. Aku duduk sendiri
karena mungkin semua anak berada di lapangan basket!
Beberapa menit kemudian, seorang cowok masuk kelas
dengan tubuh ber-simbah keringat.
Dia Markum, cowok jagoan basket di kelasku. Bodinya
kekar. Jangkung. Tampang oke. Bisa dibilang, cowok paling
guanteng di sekolah baruku ini!
Tiba-tiba aku mengkhayal, seandainya saja Markum yang
katanya cowok baik itu mau menjadi teman dekatku. Ah, kok,
mengkhayal?! Aku nggak mau jadi cewek pengkhayal! Aku
harus sebisa mungkin berusaha mendapatkan perhatianya.
Tapi, kok mulutku berat sekali,ya? Benar kata mama, mungkin
aku harus mengambil kursus kepribadian! Biar nggak minder
begini. Menanyakan teman satu sekolah aja nggak berani.


"Ehm ...!"
Tiba-tiba, aku mendengar suara dehem. Jelas ini bukan
suaraku! Aku mendengar dengan jelas bunyi itu dari mulut
seseorang yang berada di kelas ini. Tak ada seorangpun yang
ada di ruangan ini, kecuali aku dan si ganteng Markum!
Apakah aku nggak salah dengar? Apakah telingaku sedang
nggak normal?
Aku melirik Markum, tapi dia duduk cuek sambil melap
keringatnya. Eh, siapa sih, yang tadi berdehem?Janganjangan,
emang cuma perasaanku aja?!
"Ehm!"
Suara dehem lagi! Kali ini aku yakin, pasti Markum yang
berdehem. "Ehm ...!"
Kubalas dehem itu.
"Ehm!"
"Ehm ...!"
Hihihi aku dan Markum main dehem-deheman! Kulihat
wajahnya tersenyum ke arahku! Hm,bener-bener manis!
Sekarang,aku percaya sama omongan Sania, temen
sebangkuku, kalo Markum emang cowok paling manis di
dunia!
"Ehm! Emmm ...! Ehm!!!"Markum berdehem lagi.
"Ke-ke-ke ... ke ... na ... ke-na-pa, Kum ...?" akhirnya,
keluar juga keberanianku.
"Eh, ini Lin,tenggorokan aku gatel banget!Ehm!" Ooo aku
kira, dia berdehem untuk cari perhatianku? Ternyata ....
"Kamu kok, gitu sih, Lin? Orang lagi sakit tenggorokan
malah diledek?!11
"So-so-so ... ri ... a-a-aku ... tadi ... ng ... ng ... nggak
sengaja!"


"Hehehe nggak pa-pa, Lin. Aku nggak marah! Ngomongngomong,
kamu betah sekolah di sini?!"
"Be-be-betah ju-ga, sih. Ta-ta-tapi ... a-a-aku belum bi-bisa
ngi-ngilangin gu-gu-gugupku ini."
"Nggak pa-pa, Lin! Nanti juga kamu nggak gugup lagi, asal
kamu mau berusaha menyem-buhkan kegugupanmu ini. Sori
ya, kalo selama seminggu berada di sekolah ini temen-temen
pada ngeledekin kamu."
"Ng ... ng ... nggak pa-pa, Kum. A-a-aku u-udah biasa,
kok."
"Oh ya, ntar siang kamu ada acara nggak?! Aku mau ke
toko sport, mau nggak nganter aku?!"
"HAH!? Nga-nga-nga-nganter ... kamu?!"
"Iya, Lin! Mau, kan?!""Mau!"
"Ya udah, sampe ntar siang, ya?! Sekarang, aku mau ke
lapangan lagi. Kamu kok, nggak nonton aku main basket, sih?
Takut diledek temen-temen lagi, ya?"
"Ng ... ng ... nggak kok, Kum."
"Yuk, bareng aku! Nih, kamu bawa handukku. Kalo sama
aku, nggak bakalan ada anak yang berani ngeganggu kamu!
Yuk!"
Akhirnya, aku menuruti ajakan Markum ke lapangan
basket. Aku hampir shock berjalan bersisi-an dengan Markum.
Benar kata Sania,Markum bukan cuma ganteng, tapi baik hati!
Rasanya, dadaku bergemuruh berjalan di sampingnya.
Apalagi saat satu-dua pasang mata cewek memandang kaget
ke arahku dan Markum! Barangkali mereka berpikir, aku yang
selama berada di sekolah ini diacuhkan anak-anak, kok, bisabisanya
jalan bareng cowok paling keren di sekolah ini!
Apalagi pake acara bawa-bawa handuknya segala!
Ehm! Aku jadi ge-er, deh!


My First Date
GILE bener! Damar ngajak gue nge-ctete! Gimana, dong?!"
"Sabar, Cha. Sabaaar ...! Pejamkan mata elo, tarik napas
dalem-dalem, terus lepas-kan perlahan-lahan."
Icha melakukan apa yang diminta Nana. Ia pejamkan
matanya,menarik napas dalam-dalam, lalu melepaskannya
perlahan.
"Gimana, Cha? Lebih enak, kan?" Icha memejamkan
kedua bola matanya sekali lagi, lalu diam cukup lama,
menunggu apakah perubahan itu datang.
"Gimana perasaan elo sekarang, Cha? Udah lebih baik?!"
ulang Nana.
"Boro-boro, Na! Gue tetep aja deg-degan!"
"Aduh, Cha! Gimana, sih?! Elo nggak konsen, sih!"
"Bodo, ah! Gue bingung neh!"
"Tapi, Cha Nana berhenti sebentar, lalu garuk-garuk
kepala, "Cha ... kita udah sama-sama tau kalo si Damar itu
udah punya gebetan."
"Dia bilang udah diputusin, Na."
"Elo percaya?"
"Percaya, dong! Dia udah sumpah-sumpah di depan gue!"
"Iya sih, tapi namanya cowok, bisa aja dia ngibul."
"Udah, deh! Kok, elo malah mikir gitu?! Bukannya bantuin
gue gimana cara ngadepin dia."
"Oke. Sekarang gini aja, elo pulang, terus langsung tidur.
Nanti pas bangun, elo bakal baikan, deh!"
"Nah, gitu dong, kasih saran. Ya udah, gue pulang duluan.
Gue turutin saran elo, kebetulan gue ngantuk berat neh!"
"Tapi, tidurnya jangan sampai keterusan ya, Non?!"
"Iya, lah! Dia kan, bakal jemput gue jam setengah lima!"


"Ya. Tidur siang satu jam udah cukup!"
"Gue balik duluan, ya?"
"Daaagh ...!" Icha nggak seperti biasa, pulang lebih dulu.
Nana melepas kepergian Icha dengan perasaan berat. Bukan
apa-apa, Sabtu ini pertama kalinya bagi Icha janjian dengan
seorang cowok. Nana khawatir Icha diperlakukan macammacam,
seperti dirinya dulu. Sebab, Nana sendiri pernah
dibohongin sama Damar. Hanya, Nana merahasiakanya pada
Icha.
SETIBANYA di rumah, Icha langsung tidur siang. Papa
dan mamanya yang memang libur kerja pada hari Sabtu,
bingung melihat tingkah putrinya.
"Itu si Icha, kok tumben-tumbennya bisa tidur siang?
Biasanya, jam segini dia belum pulang," selidik mama.
"Jangan-jangan, dia sakit kali?"
"Ya udah, kita tanya, yuk!" Papa dan mama masuk kamar
Icha. Icha yang sebenarnya nggak bisa tidur, pura-pura
memejamkan mata. Ya, Icha emang nggak biasa tidur siang.
Icha masih aja mikirin Damar yang akan menjemputnya nanti
sore.
"Kayaknya tidurnya nyenyak banget, Ma," ujar papa.
Icha tentu saja mendengar ucapan papanya itu.
Sebenarnya, Icha kepengin ketawa.
"Kita harus hati-hati, Ma. Tau sendiri si Icha, kalo sakit
suka nggak mau bilang. Takut sama dokter. Iya, kan?!"
"Iya, sih. Mama jadi inget waktu dia kena tifus. Janganjangan
Papa dan mama saling tatap. Icha melirik sebentar ke arah
papa dan mama, lalu segera memejamkan mata ketika papa
dan mamanya yang mulai panik itu, hendak menatapnya lagi.


Terdengar papa menghela napas berat. "Cha Cha
mama memanggil-mangil Icha sambil menggoyang-goyang
tubuh Icha.
Icha malah pura-pura menguap, seperti seseorang yang
sedang nyenyak tidur. Papa memegang kening Icha.
"Wah ... panas, Ma!" teriak papa.
Jelas aja kening Icha panas. Mungkin karena Icha lagi
mikirin apa yang mesti dipersiapkan buat kencan pertamanya
nanti malam. Saking kerasnya berpikir, hingga keningnya jadi
serasa panas.
"Gimana kalo kita panggil dokter ...?"usul mama.
Tiba-tiba, Icha bangkit dari tidurnya.
"Pa ... Ma ... ngapain sih, di sini?" tanya Icha, dengan raut
wajah sebal.
"Kamu sakit, Cha? Papa panggilin dokter, ya?"
"Ih, Icha nggak kenapa-kenapa, kok!"
"Kok, kamu tidur? Biasanya nggak."
"Icha ngantuk, neh."
"Ya udah ... kamu tidur lagi, deh." Papa menyerah.Setelah
itu,papa dan mama meninggalkan kamar Icha.
"Biarin aja deh Pa, mungkin Icha kecapekan," ujar mama,
setelah di luar kamar Icha. "Tapi, mungkin aja dia sakit, Ma."
BEBERAPA jam kemudian, Icha bangkit dari kasur dan
berteriak sejadi-jadinya.
"HAH? JAM ENAM! PAPA ... MAMA ...!!!"
Papa dan mama yang berada di ruang tengah segera
bergegas ke kamar Icha. Papa dan mama memandang Icha
yang kelihatan marah.
"Kamu kenapa, Cha?"
"Mau dipanggilin dokter?"


Icha mengatur napasnya yang naik turun. "Ma, tadi ada
yang dateng, nggak?" Mama menatap wajah papa.Papa
mengernyitkan dahinya.
"Tadi ada yang dateng nggak, Ma?" ulang Icha. Mama
mengangguk."Temen kamu, Damar," sela papa.
'Nanyain Icha, nggak?"
'Ya, terus Papa dan mama bilang, kamu lagi sakit
Terus?"
Terus dia pulang"
HAHM PAPA ... MAMA ... KOK,JADI GINI,SEEEH
"Lho ... kenapa, Cha?!" Icha bangun dan segera meraih
horn telepon. Dia bergegas menghubungi Damar.
"Halo, bisa bicara dengan Damar?"
"Halo, Damarnya sedang keluar rumah."
"Ke mana?"
"Nggak tau, tuh. Ini malam Minggu. Apel kali. Hehehe
Icha sebel banget denger suara di ujung telepon itu. Itu
pasti pembokat Damar. Setelah itu, Icha langsung menutup
telepon dengan kesal. Papa dan mama tampak bingung
melihat tingkah Icha.
"Cha, Papa sama Mama mau ke mal, kamu mau ikut?"
Icha kelihatan bingung.
"Kalo kamu mau ikut, sana mandi!" Icha nggak menyahut
kata-kata papa dan mamanya. Icha hanya memperlihatkan
tampang sebal.
DARIPADA di rumah sendirian, Icha ikut papa dan mama
ke mal. Icha terlihat uring-uringan karena apel pertamanya
berantakan. Papa dan mama masih belum mengerti. Namun,
mereka belum mau menanyakan kenapa Icha cemberut. Papa


dan mama menduga, pasti gara-gara teman cowok yang
datang tadi sore ke rumahnya.
Setibanya di mal, secara nggak sengaja, mama menunjuk
seorang cowok yang lagi jalan bareng seorang cewek dari
kejauhan. Mama mengenali tampang cowok itu. Jelas aja,
cowok itu Damar!
"Ssst ... itu, Cha. Cowok yang tadi ke rumah," bisik mama,
sambil menepuk-nepuk pundak Icha.
Icha langsung lemas melihat Damar bersama dengan
seorang cewek.
Bener juga kata Nana, nih cowok nggak bisa dipercaya,
ucap Icha dalam hati.
Bersamaan dengan itu, Damar melihat ke arah Icha dan
papa-mamanya. Damar terlihat gugup. Sebelum Damar
melangkah ke arah Icha dan papa mamanya, Icha langsung
menarik lengan papa dan mamanya untuk pergi menjauh.
Damar kehilangan jejak. Damar pun kembali menemui
cewek yang tadi bareng dirinya, yang tak lain adalah adik
kandungnya.
Ketika Damar menghubungi HP Icha, Icha langsung
menjawab dengan nada kasar, "Mar! Asal elo tau, this's my
first date with someone. Dan, elo mengacaukan semuanya!
Elo nggak usah ngubungin gue lagi, deh! Ke laut aja! Or go to
hell!"
"Tapi Cha ... Cha ... Cha Komunikasi terputus.


Amnesia
ANDRE kena amnesia!" ujar Rene, setengah berteriak,
saat Belia berada di kantin sekolah. "Pantes, terakhir kali
ketemu dia selalu batuk-batuk."
"Plis, Belia! Amnesia ... bukannya asma!" "Oh
"Amnesia itu hilang ingatan sementara, nggak ada
hubungannya sama batuk-batuk."
Belia menghela napas berat, lalu sorot matanya menatap
jauh keluar kantin dengan pandangan kosong. Rene enggak
bisa berbuat apa-apa dan melihat air mata sahabatnya mulai
mengaliri pipi.
"Belia, jangan terlalu sedih! Sekarang, Andre lagi
ditangani seorang dokter ahli!"
"Gimana nggak sedih, Ren?! Gue belum sebulan jadian,
tapi Andre udah kena Amnes ....""Amnesia." "Iya. Gimana,
dong?"
"Yang jelas, kita harus cepet-cepet jenguk dia.Tapi kalo
bisa, anak-anak jangan dikasih tau dulu! Soalnya, berita ini
cuma kita yang tau."
"Jadi, anak-anak belum tau?"
"Belum."
Sore itu juga,Rene dan Belia menjenguk Andre ke
rumahnya. Ting-tong!
Rene menekan bel pagar rumah Andre. Beberapa saat
kemudian, seorang lelaki setengah baya membuka pintu
pagar. Dia adalah Pak Sion, tukang kebun Andre.
"Ada perlu apa, Non?" tanya Pak Sion.
"Kami mau ketemu Andre, Pak."
"Oh, kebetulan Andre lagi di teras belakang. Mari masuk
Rene dan Belia mengikuti langkah Pak Sion memasuki
halaman rumah Andre yang cukup luas, di bagian tengahnya


terdapat kolam berukuran sedang, ada air mancur di sisi
kanannya.Pak Sion berjalan agak tergesa. Rene dan Belia
mengikuti di belakang. Mereka memasuki jalan berkerikil,
untuk sampai teras belakang. Sepanjang perjalanan, mereka
melintasi pepohonan yang didominasi bunga-Mbunga
anggrek.
Setibanya di teras belakang, Pak Sion yang berjalan lebih
dulu tampak bicara pelan sama Andre, tapi Andre seperti acuh
saja. Setelah itu, Pak Sion menemui Rene dan Belia yang
berada di belakangnya.
"Silakan, Non," ujar Pak Sion.
"Terima kasih, Pak," jawab Rene dan Belia serempak.
Pak Sion kembali berjalan ke halaman depan, sedangkan
Rene dan Belia berjalan mendekati Andre. Andre tampak
angkuh dan seperti nggak kenal sama yang datang. Padahal
yang datang adalah
Belia, cewek yang beberapa minggu lalu
"ditembaknya".
"Ndre ... Andre Rene menegur Andre, sambil menggoyanggoyangkan
telapak tangannya di depan wajah Andre. Andre
tetap acuh. Pandangannya kosong ke depan, ke arah kolam
renang.
"Andre ...." Akhirnya,Bella mengeluarkan suara. Belia
memegang pundak Andre, lalu memutarnya, menghadapkan
wajah Andre tepat ke wajahnya.
"Ndre, aku Belia. Kamu nggak lupa, kan?" Andre mundur
ke belakang dan tampak seperti orang linglung. Andre
menatap Belia dari ujung rambut sampai ujung sepatu. Andre
seperti asing dengan Bella. Belia jadi kalut.
"Ndre, kamu kenal aku, nggak?" tanya Rene, sambil
memperlihatkan wajahnya tepat di depan wajah Andre.
"Aku Rene!"
"Rene?" Andre tersenyum.


"Tau nggak, dia siapa?" Rene menunjuk wajah Belia.
"Dia Belia! Cewek kamu!"
Andre tersenyum ke arah Bella. Belia pun tersenyum
menyambutnya. Belia menghela napas lega. Rupanya, Andre
mulai menyadari kekeliruannya. Mungkin, Andre udah mulai
mengenalinya. Bukan apa-apa, menurut cerita Rene tadi,
amnesia yang diderita Andre belum terlalu parah. Andre masih
mengenali beberapa anggota keluarganya, meskipun nggak
semuanya.
Masih menurut Rene, Andre mengalami amnesia karena
kecelakaan sepeda motor. Andre menubruk sebuah sedan
yang sedang berada di tempat parkir.
Meskipun nggak mengalami luka-luka serius, Andre
mengalami amnesia karena kepalanya membentur body
sedan itu. Menurut Rene, kecelakaan itu terjadi waktu Andre
melamun. Andre melamun karena kemarin sempat marahan
sama Belia.
"Masa sih, gara-gara gue, Andre jadi gitu?" ucap Belia,
saat menuju rumah Andre tadi.
"Makanya, elo harus minta maaf. Sebelum penyakitnya
tambah parah!"
"Maksud elo?"
"Menurut keterangan salah satu keluarganya, penyakit
Andre bisa aja tambah gawat, kalo enggak ditangani serius.
Andre harus didatangi dokter ahli, dan harus banyak istirahat."
Belia mengangguk-angguk. Akhirnya, Belia jadi ngerasa
bersalah. Itulah sebabnya, Belia antusias banget waktu Rene
ngajak ke rumah Andre. Bella mau minta maaf.
"Ndre aku Belia. Kamu masih inget aku, kan?" Belia
kembali mencoba menyadarkan Andre. Andre tersenyum
sambil mengangguk pelan.
"Kapan dateng dari Bandung?" tanya Andre kemudian.


Hal itu membuat Belia nyaris melonjak ke belakang. Bela
luar biasa kagetnya.
"Kok, dari Bandung, sih?" Bela kebingungan. Rene yang
memerhatikan keduanya, segera menarik tangan Belia,
menyingkir ke salah satu sudut beranda. Keduanya menjauh
dari Andre.
"Belaaa ... elo harus sabar! Mungkin, Andre belum ingat
elo."
"Gue ngerti! Tapi, kok, dia bilang gue dari Bandung?"
"Ya, namanya juga orang kena amnesia!"
"Tapi, masa sih, dia nggak ngenalin gue? Gue kan,
pacarnya! Udah ah, gue coba lagi!"
Belia kembali mendatangi Andre, yang tampak acuh atas
kedatangannya. Rene nggak bisa berbuat apa-apa, mengikuti
langkah Belia di belakang.
"Andre ... gue emang dari Bandung!" ujar Belia, sambil
mencoba merapikan lengan kaus Andre, dengan maksud
memberikan perhatian.
Kening Andre tampak berkerut, namun nggak lama
kemudian, Andre tersenyum. Belia jadi bingung. Kenapa
Andre tersenyum?
"Makasih ya, oleh-olehnya ... aku jadi makin sayang sama
kamu," ujar Andre, membuat Belia kembali tersentak kaget.
"Oleh-oleh?"Bella seperti mengulang perkataan Andre.
Kayaknya, gue nggak pernah ngasih oleh-oleh, deh I
Belia lalu geleng-geleng kepala.
"Aku nggak ngerti maksud kamu, Ndre. Ka-yaknya aku
nggak pernah bawa oleh-oleh buat kamu."
"Lho, yang kemarin itu dari siapa? Kayaknya, kamu ngasih
aku jaket warna biru dari Bandung. Itu dari kamu, kan?"


"Oke. Sekarang, aku mau tanya, sebenarnya kamu tau
nggak sih, kalo aku ini siapa?" Belia sewot.
"Kamu ...?
Beberapa saat lamanya, Andre terdiam. Belia menahan
napas. Belia menunggu Andre mengucapkan namanya.
Namun mulut Andre masih tetap saja menganga.
"Aku Belia, Ndre!" Belia setengah berteriak, mencoba
meyakinkan Andre.
Andre mengerutkan kening lagi.Belia membuang napas
dan baru ingat. Beberapa waktu lalu, Belia memang mengaku
pada Andre kalo dia mau ke Bandung. Belia janji mau beliin
Andre Jaket warna biru. Kebetulan, Belia punya sodara yang
punya dis-tro. Belia mau borong baju-baju murah dan keren,
sekalian mau ngasih hadiah buat ultah Andre. Duh, Belia
ternyata lupa. Kenapa Belia bisa lupa? Dan ini kan, kalo Belia
nggak salah inget, hari ultah Andre?! Ya ampyuuun Belia
emang pelupa yang akut!
"Ndre, sori gue lupa kalo gue ...."
"Bela ... udah yuk, elo tuh malah bikin si Andre jadi
kebingungan! Percuma ngomong, dia nggak ba-kalan inget
elo!" potong Rene. Lalu, Rene menarik lengan Belia, menjauh
dari Andre.
"Nggak bisa, Ren! Gue harus bisa ngeyakinin dia.Tadi, dia
udah nyebut-nyebut Bandung dan jaket biru! Berarti, dia inget
gue!"
"Tapi, elo kan, nggak ke Bandung?!"
"Iya ... tapi
Nggak lama kemudian, beberapa orang keluar dari pintu.
Mereka adalah papa dan mama Andre. Lantas, di belakangnya
dua orang pembantu datang menyusul. Keduanya membawa
loyang kue ulang tahun berukuran sedang. Lilinnya belum
dinyalakan. Bella dan Rene berdiri agak menjauh.


Papa dan mamanya langsung memeluk Andre, lalu
mengatakan, "Selamat Ulang Tahun, Sayang ...!"
Andre menyambutnya dengan anggukan dan tersenyum.
Dari sudut lain, Belia menatap itu semua dengan
bingung.Sedangkan Rene, cuma tersenyum-senyum.
"Sori, Bel. Kali ini, elo gue kerjain," bisik Rene. "Jadi ...
Andre nggak amnesia, kan?" "Gue rasa, dia tetep amnesia.
Tapi amnesia khusus untuk elo."
"Kupret lo, Ren!"
"Ini April Mop, Sayang. Udah deh, tuh ... kayaknya Andre
nunggu elo."
Belia kembali berjalan ke arah Andre. Setelah beramah
tamah sebentar dengan papa dan mama Andre, Belia
memukul-mukul tubuh Andre dengan manja. Belia nggak
terima dirinya dikerjain, di hari ultah cowoknya sendiri.


Angkot D15
PAGI ini adalah pagi yang menyebalkan. Sebab Pak Abdul,
sopirku, nggak bisa mengantarku ke sekolah seperti biasanya,
dengan alasan sakit perut. Papa lagi di luar kota. Mama
berangkat siang, karena pagi ini masih banyak urusan rumah.
Buat nunggu taksi yang dipesan mama, rasanya nggak
mungkin, karena setelah dihubungi, taksi tersebut baru bisa
datang dua jam lagi. Aku ngerti, mungkin seandainya ada,
pasti taksi itu cuma beralasan,nggak mau ngantar penumpang
yang jaraknya nggak terlalu jauh.Akhirnya terpaksa,untuk
pertama kalinya terjadi dalam hidupku, aku ke sekolah naik
angkot alias ang-kut-an kota!
Dari jalan depan rumahku, mama nyuruh tukang ojek yang
lagi mangkal mengantarku sampai gerbang perumahan.Aku
naik ojek yang tukang ojeknya bertampang tengil dan
genit,tapi aromanya lumayan harum; bau parfum
aneh.Meskipun begitu,dia nggak bisa ngumpetin bau
badannya yang asem campur asin. Hufffh hidungku sangat
sensitif sama bau-bauan. Baik bau harum maupun bau tak
sedap.
"Tumben naik ojek?" kata si tukang ojek tengil itu, di
tengah perjalanan.
"Ya," kujawab malas-malasan. "Sekolahnya di mana, sih?"
Ya ampun! Males banget pagi-pagi ngobrol sama tukang
ojek. Aku diem ajaKalo ditanggapi, aku takut dia semakin
cerewet Apalagi akhirnya dia tanya begini, "Udah punya pacar
belum? Hehehe
Aku tetap nggak jawab. Dan, si tukang ojek terus aja
tertawa. Aku benci sekali dan sangsi, kah dia udah sikat gigi
hingga begitu pedenya ketawa di dekat seorang Bunga Citra
Lestari?
"Pasti belum punya pacar ya? Hehehe Si tukang ojek
mungkin nggak tau kalo aku sedang cemberut. Uh, kenapa


perjalanan dari jalan depan rumah belum juga sampai ke
gerbang perumahan ?
"Ngomong-ngomong, namanya siapa, sih?" Alhamdulillah,
udah nyampe. Aku nggak mau menjawab pertanyaan si
tukang ojek ini. Aku keluarkan uang pecahan dua puluh ribu.
Lalu kuberikan padanya, "Nih, Bang! Jangan banyak
ngomong, deh!"
"Deuelaaah cakep-cakep kok, galak amat, sih?! Hehehe ....
Duh, duitnya besar banget!"
What? Dua puluh ribu ... apakah terlalu besar?
"Nggak ada kembaliannya, Neng!"
"Nama saya Bunga! Bukan Neneng!" ralatku, sambil
melotot. Si tukang ojek itu bukannya takut, tapi malah
tersenyum.
"Hehehe nggak ada kembaliannya. Saya tukar dulu, ya?!"
"Terserah deh, Bang!" Kutunggu si tukang ojek itu
menukarkan uang dua puluh ribuan. Hampir lima menit aku
menunggu, ia belum juga kembali. Namun, aku bisa melihat
kegigihannya mendatangi para pedagang di sekitar gerbang
perumahan, menukarkan uang itu pada tukang bubur ayam,
bubur kacang ijo, susu kedelai, soto ayam, dan pada temantemannya
sesama tukang ojek. Setelah itu, dia kembali
padaku.
"Bunga, nggak ada kembaliannya. Pakai uang receh aja!
Emangnya nggak ada?"
"Berapa, sih?"
"Tiga ribu lima ratus!" Kucari uang pecahan yang diminta.
Dan kutemukan empat lembar ribuan di dalam tas, lalu
kuserahkan pada si tukang ojek menyebalkan itu.
"Nih, Bang! Makasih, ya!"
Kutinggalkan si tukang ojek. Tetapi, ia memanggilku.


"Bunga! Ini kembaliannya!" Si tukang ojek itu mengejarku
sambil memberikan kembalian uang receh lima ratus rupiah.
Hm jujur juga nih orang. Andai saja dia jadi pejabat, bukan
jadi tukang ojek, pasti negara ini udah maju meninggalkan
Malaysia atau Singapura . Negara kita mendatangkan pekerja
perempuan dari negara-negara tetangga, nggak sebaliknya
seperti sekarang ini. Yeah, Aku baca di koran, banyak pejabat
yang nggak jujur. Tapi, seandainya tukang ojek yang jujur ini
jadi pejabat, jangan-jangan genitnya malah menjadi-jadi?
"Kembaliannya buat Abang aja!" kataku, sambil terus
bergegas meninggalkannya.
SETELAH lepas dari tukang ojek, kutunggu angkot. Tadi,
mama mengingatkan, jika gagal mendapatkan taksi untuk
sampai ke sekolah, aku harus naik angkot D1S. Daripada telat,
aku harus naik angkot.
Kulambaikan sebelah tanganku setiap kulihat tulisan D15
di kaca bagian atas angkot-angkot yang lewat. Tetapi, tak satu
pun berhenti. Muatannya selalu penuh. Kalo udah begini, Pak
Abdul yang kuingat! Kenapa pagi ini sopir pribadiku harus sakit
perut, ya?
Akhirnya, setelah sepuluh menit,ada juga angkot D15 yang
berhenti. Tetapi, ketika separuh tubuhku udah masuk,setelah
kulihat ke dalamnya, tak ada tempat duduk kosong.Seseorang
berteriak pada sopir, "Udah penuh, Bang! Mau ditaruh di
mana?!"
"Naik di depan, Dik!" sopir itu berteriak.
Apa dia bilang? Dik? Emangnya, aku adiknya apa?
Aku kembali turun dan melongok ke depan, ke arah
sopir.Pintu depan terbuka, dan seorang cowok berseragam
sekolah turun. Lalu, cowok itu mempersilakan aku naik.
"Kamu di dalam aja," ujar cowok itu. Sekilas kutatap
wajahnya. Ia tersenyum dan mengangkat bahunya.Tadinya,
aku males banget naik angkot ini. Apa enaknya naik mobil
sempit ini bertiga di depan ?


Toh, aku tetap naik juga. Dengan alasan, pertama susah
menunggu angkot yang kosong. Kedua, karena cowok
supercare di sebelahku keren banget!
Ups!
Kalo tau ada cowok keren kayak dia naik angkot, mungkin
udah tiap hari aku naik angkot. Sumpah! Selama ini, aku
nggak pernah liat tampang cowok seperti cowok di sebelahku
ini di sekolah. Atau jangan-jangan, dia emang lain sekolah?
Aku berharap cowok di sebelahku ini mau bertanya
padaku, seperti tukang ojek genit tadi. Tetapi, cowok ini diam
aja. Ia malah membuka tasnya, lalu mengambil sebuah buku
lumayan tebal berwarna cokelat. Hilang sudah harapanku
untuk bisa ngobrol dengannya.
Wow, dia membaca novel The Da Vinci Code.Novel
kesukaanku! Ini mungkin kesempatan aku buat nanya-nanya
dia. Tapi, apa enaknya kalo orang lagi baca diajak ngobrol?
Apalagi pagi-pagi gini. Duh, jangan-jangan di mata cowok ini
nantinya aku jadi seperti tukang ojek tadi. Biarin aja, deh!
"Kamu suka Dan Brown juga?"tanyaku akhirnya. Cowok itu
mengangguk, lalu menoleh ke arahku dan tersenyum, "Kamu
suka juga?"
"Suka banget! Aku juga udah baca Angels and Demons,
Robert Langdon's First Adventure ...."
"Ummm ... Malaikat dan Iblis, ya? Aku juga udah baca. Dua
buku Dan Brown yang udah diter-jemahin, kan?"
"Kamu beli di toko buku mana?"
"Aku pinjem sama temen. Aku juga udah baca buku-buku
Dan Brown lainnya, Kayak Deception Point dan Digital
Fortress!" sambungku.
Kamu udah tau juga?"
Tau dong, aku udah beli!"
Keren-keren, ya?!"


Iya."
Terminal habis! Terminal habis!" tiba-tiba, Pak Sopir
berteriak-teriak pada seluruh penumpang. Oh, rupanya udah
sampai di terminal. Nggak kerasa banget, deh!
Cowok itu turun, lalu merogoh saku. Aku membayar
dengan uang pecahan dua puluh ribu. Uang yang tadi nggak
ada kembaliannya itu. Setelah kuberikan, Pak Sopir yang
tengah menerima ongkos dari penumpang lainnya bilang,
"Uang pas aja!"
"Berapa, Pak?"
"Seribu!"
Kucari di tas, siapa tau ada pecahan seribu rupiah.
Ternyata, enggak ada.
"Aku aja yang bayar!" Tiba-tiba, cowok itu memberikan
uang dua ribu rupiah pada Pak Sopir angkot. Setelah itu, dia
menarik tasku,meninggalkan angkot itu. Ketika menarik
tasku,aku seperti tengah bersama-sama dengan cowok yang
udah lama sekali kukenal.
"Selain baca, kamu suka apa?" tanya cowok itu, setelah
melepaskan lenganku.
"Aku suka ... nonton, denger musik, sesekali jalan ke toko
buku. Kalo kamu?"
"Kok, hobi kita bisa sama, ya?" Cowok itu tersenyum. Aku
cuma bisa menghela napas. Baru kali ini kutemukan cowok
hobinya sama!
"Oke, deh! Kayaknya, kita mesti pisah di sini. Aku masih
harus naik sekali lagi," ujar cowok itu sambil melambaikan
tangan.
"Oke! Sampai ketemu!"
"Daaagh ...!"
"Daaagh ...!"


Aku dan cowok itu berpisah. Dia naik bus kota, dan aku
cukup berjalan kaki menuju gerbang sekolah. Ringan sekali
kakiku melangkah. Kalo udah begini, aku nggak lagi sebal kalo
ingat Pak Abdul. Aku justru harus berterima kasih kepadanya.
Kalo aja pagi ini ia nggak sakit perut, aku belum tentu bisa
ketemu sama cowok di Angkot D15 itu!
Apakah aku akan bertemu lagi dengan cowok itu? Ya
ampun, kenapa tadi aku lupa tanya nomor teleponnya? Selain
itu, siapa nama cowok tadi?
Kucari-cari bus kota yang tadi ia tumpangi. Sayangnya, bus
itu udah jauh meninggalkan terminal. Damn!
KEESOKAN harinya, aku nggak mau diantar sama Pak
Abdul. Aku naik ojek seperti kemarin, dan menunggu angkot
yang sama. Nggak peduli sama tukang ojeknya yang genit
abis. Nggak peduli meskipun angkot D15 selalu penuh penumpang.
Sayangnya, aku nggak ketemu sama cowok yang kemarin
itu. Nggak ada cara lain untuk bisa ketemu sama cowok itu,
aku harus naik angkot D1S setiap pagi. Terkadang, pulang
sekolah pun aku nggak mau dijemput. Pak Abdul kusuruh
menunggu di gerbang perumahan,biar aku terhindar dari si
tukang ojek itu.
SUDAH sebulan lebih aku naik angkot D1S, tetapi nggak
pernah ketemu sama cowok yang pernah satu angkot
denganku. Bukan aja aku punya utang seribu rupiah
padanya.Namun,aku masih ingin banyak ngobrol tentang
banyak hal dengannya. Pasti asyik banget punya temen cowok
yang punya hobi sama.
Papa dan mama menghargai pilihanku naik angkot ke
sekolah, meskipun sebenarnya mereka agak-agak khawatir.
Tapi, mereka nggak bisa berbuat banyak, apalagi udah tiga
minggu ini Pak Abdul nggak pernah masuk karena sakit.
Sore ini, papa dan mama mengajakku menengok Pak
Abdul ke rumahnya. Meskipun malas, aku mau ikut.Pak Abdul


sudah kuanggap bagian dari keluargaku. Dia orang yang baik,
rajin, dan penyabar.
Setibanya di rumah Pak Abdul yang sangat sederhana,
kami disambut dengan ramah oleh beliau. Pak Abdul masih
tampak lemah. Papa dan mama pernah bilang, Pak Abdul
yang udah nggak punya istri ini nggak pernah mau berobat ke
rumah sakit. "Sekarang sudah agak lumayan, Tuan. Saya
mulai enak makan. Mungkin dua hari lagi saya sudah bisa
masuk kerja."
"Nggak apa-apa, Pak. Barangkali Pak Abdul memang perlu
istirahat. Lagi pula, Bunga mulai suka naik angkot, kok."
Pak Abdul tersenyum mendengar pengakuan papa.
"Ya ampun, saya lupa menyediakan minuman. Sebentar,
ya? Sam! Sam! Tolong bawa minumannya! Dari tadi baca
terus, sih!" Pak Abdul berteriak-teriak memanggil seseorang.
Tak lama, seorang cowok membawa minuman dengan sebuah
nampan.
"Iya, Pak. Ini minumannya ujar cowok itu, sambil melirik ke
arahku. Cukup lama kami bertatapan.
"Kamu Aku menunjuk-nunjuk ke arahnya, sambil mencoba
mengembalikan ingatannya. Siapa tahu, dia lupa sama aku.
Aku adalah ... cewek yang pernah satu angkot dengannya!
"Kamu ... Sophie Neveu ... from The Da Vinci Code, kan?"
ujar cowok itu, sambil meletakkan minuman.
"Benar, Robert Langdon ...do you remember about Angels
and Demons?" aku ikut menyebutkan tokoh cerita dari salah
satu bacaan favorit kami lainnya.
"Kalian sudah saling kenal, ya?" terka mama, melihat
keakraban kami.
Aku cuma tersenyum malu-malu. Sore ini, aku bahagia
sekali. Akhirnya, aku bisa bertemu kembali dengan cowok ini.
Aha, yang pasti namanya bukan Robert Langdon, melainkan
Sam!


Rahasia Cowok
DI antara teman-temannya, Lulu terkenal paling tau soal
cowok. Dari A sampai Z. Ia tahu cara menghadapi persoalan
bila dijauhin cowok, cara meredakan kemarahan cowok kalo
marah, cara mengambil simpati cowok, sampai hal lainnya
tentang makhluk berjenis cowok itu.
Karena itu, nggak sedikit teman-teman yang berkonsultasi
padanya kalo punya masalah sama cowok. Seperti Nanda,
yang ngeluh dicuekin cowoknya. Nanda nggak tahu kenapa
cowok yang sangat disayanginya itu akhir-akhir ini cuek.
"Dia nggak kayak dulu lagi, waktu pertama kali kenal gue!"
seru Nanda pada Lulu, waktu mengeluh soal cowoknya.
"Mungkin,elo pernah menyinggung perasaannya?!" ujar
Lulu, teramat tenang."Menyinggung perasaannya? Apa
mungkin cowok gue orangnya perasa? Bukankah cowok
nggak sesensitif cewek?"
"Jangan salah, Nda!" potong Lulu. "Bukan cuma cewek
yang punya sifat perasa. Cowok juga punya.Emang sih, cowok
biasanya suka blak-blakan kalo tersinggung. Tapi, ada juga
yang cuma menyimpannya di hati."
"Terus, apa saran elo supaya gue nggak dicuekin?"
"Elo mesti ngomong baik-baik ke dia! Elo jangan diem aja,
apalagi ngebalas nyuekin dia!"
"Iya, gue pernah berpikir mau nyuekin dia!"
"Jangan, Nda! Kalo elo ngikutin cuek, bisa bahaya. Nanti
akan timbul kesan kalo hubungan elo sama dia tuh, udah
nggak ada kecocokan! Menurut gue, elo mesti tanya baik-baik.
Tanya kenapa dia nyuekin elo!"
"Oke deh, gue coba! Thanks ya, Lu!" Tiga hari kemudian,
Nanda balik lagi ke Lulu dan kembali ngomongin cowoknya.
Nanda nyeritain kalo cowoknya udah berhenti nyuekin dia.
"Elo bener juga, Lu! Akhirnya, cowok gue ngaku kenapa
dia cuek sama gue. Ternyata,doi tersinggung sama omongan


gue. Waktu itu, gue nge-banding-bandingin dia sama mantan
gue. Gue pikir, dia baik-baik aja. Eh, ternyata nyuekin gue!"
"Bener kan, apa kata gue?!Coba kalo elo bales nyuekin
dia, sampe sekarang elo pasti masih main cuek-cuekan!
Untung elo masih tahap dicuekin! Coba kalo dia marah
beneran?!"
SETELAH Nanda berhasil kembali rukun dengan
cowoknya, giliran Allisa yang punya masalah sama cowoknya.
Allisa ribut sama cowoknya karena cowoknya jalan dengan
cewek lain. Karena itu, Allisa selalu menjauh dari cowoknya,
nggak pernah mau ngangkat teleponnya, apalagi didatengin.
"Jangan buruk sangka dulu, Sa! Elo mesti nyelidikin
kenapa semua ini bisa terjadi. Selain itu, elo harus tahu juga
siapa cewek yang jalan bareng dengannya."
"Waktu itu, mereka mesra banget, Lu! Gue benci banget
ngeliatnya!"
"Selama ini, elo pernah nanya ke cowok elo nggak, siapa
cewek itu?!"
"Nggak pernah! Seandainya dia ngomong, pasti dia
ngibul!"
"Lho? Elo mesti beri dia kesempatan, dong! Suruh dia
memberikan alasan kenapa dia jalan sama cewek lain. Siapa
tau ...."
Lulu berhenti sebentar, karena ada telepon masuk. Lulu
mengangkat HP-nya. Ternyata dari Intan. Intan nelepon Lulu
dengan suara terisak. Intan mengaku menyesal karena
mengatakan putus dengan cowoknya!
"Terusin dong, Lu!"
"Tadi sampe mana?!"
"Gue mesti nanya alasan cowok gue ... siapa tau
maksudnya apa, nih?!"


"Oh, itu. Ya, siapa tau cewek yang jalan bareng cowok elo
itu bukan siapa-siapa.Maksudnya, jangan mikir macammacam
dulu! Kadang, cowok suka iseng. Cowok kan, emang
sifatnya mata keranjang, walaupun nggak semua cowok gitu.
Nah, yang jenis mata keranjang ini, sebenernya dia juga
punya cewek yang bener-bener jadi dambaan hatinya.
Kalo seandainya cowok elo jenis ini, elo nggak perlu
khawatir. Siapa tau cewek yang jalan bareng dia tuh, cuma
temen jalan aja, atau jangan-jangan ... sodaranya?!"
"Tapi, cowok gue bukan mata keranjang, Lu! Dan, dia
nggak punya sodara cewek!"
"Kok, elo bisa tau kalo dia bukan mata keranjang?!
Emangnya, dia pernah ngomong ke elo kalo dia bukan mata
keranjang?!"
"Senggaknya menurut gue, Lu!"
"Buktinya, dia jalan sama cewek lain?! Apa itu bukan mata
keranjang?!"
"Iya, juga, ya?"
"Sori, Al, tadi itu cuman becanda! Gue yakin, cowok elo
bukan tipe kayak gitu. Elo juga harus yakin, kalo cowok elo tuh
cowok baik-baik. Sebelum bisa membuktikan bahwa dia mata
keranjang, jangan percaya dulu!"
"Aduh, bikin bingung aja, Lu! Gimana dong, jalan
keluarnya?"
"Oke, oke. Sekarang gini aja, deh. Elo selidiki dulu baikbaik,
tanya pelan-pelan ke doi, soal cewek yang jalan bareng
dengannya. Selama ini, elo nggak pernah mau denger
penjelasan dia. Nah, kasih dia kesempatan! Biarin dia
ngeluarin alasan-alasannya jalan bareng cewek lain. Ada
kemungkinan dia juga butuh perhatian ekstra dari elo!"
"Oke deh, Lu. Gue coba."


Seminggu kemudian, Allisa balik lagi ke Lulu. Allisa datang
dengan wajah berbinar-binar. Bukan main senangnya Allisa,
karena akhirnya kembali akur dengan cowoknya!
"Elo emang temen yang paling hebat, Lu! Ternyata setelah
gue mau denger penjelasannya, gue jadi tau kalo ternyata
cewek yang jalan bareng dengannya itu anak omnya! Sial,
hampir aja gue ke-jebak! Kalo nggak minta penjelasan dari
elo, mungkin udah gue putusin tuh cowok! Oke deh, Lu! Trims
ya, udah bantu gue."
"Sama-sama, Al. Gue juga seneng banget bisa nolong elo,
apalagi soal cowok. Menurut gue, meskipun cowok makhluk
misterius, kita mesti bisa tau rahasia-rahasia yang ada di
dalamnya.Makanya,gue seneng banget mecahin perkara
kayak gini. Bukan cuma elo yang punya masalah sama cowok.
Minggu lalu, Nanda hampir putus sama cowoknya. Dan dua
minggu sebelumnya,Riana.Anita juga pernah nanya-nanya
soal cowok ke gue! Padahal, si Anita kan, udah lebih dari lima
kali pacaran!"
"Elo emang hebat, Lu! Gue beruntung punya sobat kayak
elo!"
SETELAH masalah Allisa selesai, giliran Intan yang harus
mengalami masalah dengan cowoknya. Seperti yang ia
katakan di HP, Intan telah mengucapkan kata-kata yang
sangat sakral dalam dunia pacaran. Ia langsung mengatakan
"putus" sama cowoknya. Padahal, dia masih cinta berat.
"Gue bener-bener nyesel! Nyesel abis, Lu!"
"Penyesalan nggak ada gunanya, Intan."
"Abis, gimana dong, Lu?"
"Emang, kenapa bisa bilang putus?"
"Dia nggak dateng dua malam Minggu ber-turutturut!"
"Cuma gitu masalahnya? Ya, ampun!"


"Iya, Lu! Gimana, dong?! Gue baru tau sekarang,
nyokapnya sakit udah dua minggu! Dia nggak bisa dateng
malam Minggu karena harus nungguin nyokapnya di rumah
sakit!"
"Kok, elo nggak pernah tau kalo nyokapnya sakit udah dua
minggu?!"
"Dia nggak pernah cerita. Aduh, gimana doong?! Gue
nyesel banget mutusin dia gitu aja! Padahal, gue masih suka
banget sama dia! Gimana dong, Lu?"
"Elo mesti tahu, In. Cowok itu nggak sama kayak cewek.
Gue pikir, elo bisa menarik kata-kata yang pernah elo ucapin
itu. Emang sih, jadi seperti menjilat ludah yang elo buang ke
tanah! Menurut gue, kalo emang tuh cowok masih sayang
sama elo, dia pasti mau nerima elo kembali jadi ceweknya!"
"Dia pasti tersinggung, Lu! Dia pasti udah muak sama
gue!"
"Belum tentu, Intan! Coba deh, saran gue ini. Pertama,
telepon dia baik-baik.Tanya kabarnya,atau sekadar basa-basi.
Lakukan seperti nggak pernah terjadi apa-apa. Kedua, kalo elo
nggak berani ngomong, elo bisa minta bantuan temen
deketnya. Kasih dia hadiah. Nantinya, tuh cowok akan berpikir,
bahwa elo masih suka sama dia. Ketiga, ini yang paling hebat.
Datengin dia langsung! Minta maaf padanya! Pasti beres. Dan,
kalo dia masih sayang sama elo, elo nggak bakalan kesulitan!"
"Oke deh, In! Gue coba!"
"Nah, gitu, dong!" Sehari kemudian, Intan udah kelihatan
happy. Berkat saran Lulu, Intan mengaku kembali menjalin
hubungan sama cowok tersayangnya. Sebagai ucapan terima
kasih, Intan ngajak Lulu makan di fast-food. Nggak
ketinggalan, Nanda dan Allisa diajak.
"Elo emang hebat, LuiGue bangga punya sobat kayak elo!"
"Iya, Lu! Elo emang jagonya soal cowok!" tambah Nanda.


"Kalo nggak ada elo, kita-kita bisa ngejomblo lagi!" tukas
Allisa, membuat yang lainnya tertawa.
"Ah, jangan berlebihan! Gue kan, cuma nyumbang saran.
Kalo ternyata itu ampuh, mungkin cuma kebetulan aja."
"Jangan ngerendah gitu, Lu! Gue yakin dan percaya,
semua rahasia tentang cowok ada ditang-an elo! Iya, nggak?"
"Akuuur ...!"
"Ngomong-ngomong, sekarang cowok elo siapa, Lu?!" tibatiba,
Nanda mengalihkan pembicaraan.
"Pasti yang ketemu di mal dua tahun lalu, kan?"terka Intan.
"Kalo nggak, cowok yang pernah elo kirimin surat itu?!"
tebak Allisa.
Ditanya gitu, Lulu diem aja. Sekejap kemudian, ketiga
sahabatnya udah menemukan titik-titik bening di kedua pipi
Lulu. Lulu menangis.
"Inilah yang jadi masalah gue selama ini ... gue belum
pernah punya cowok!"
Ketiga sahabat Lulu melongo.


Tentang Rumah Hantu
RARA mematikan televisi, lalu beringsut ketempat tidur,
merebahkan tubuhnya di sana, dan pengin segera tidur.
Namun, bola matanya sulit terpejam. Acara misteri di teve tadi
menjadi lekat di kepalanya; kuburan, pocong, hantu
perempuan yang ketawa cekikikan.Ih, syerem! Sampai
beberapa saat lamanya, Rara nggak mampu memejamkan
mata meskipun ia memaksakan diri buat segera tidur. Mata
Rara terasa kering.Rara masih mikirin gimana kalo tiba-tiba
ada hantu seperti di teve tadi masuk kolong tempat tidurnya!
Akhirnya, Rara ke luar kamar, menuju kamar papi
maminya. Ia hendak mengetuk pintu, tapi ragu karena nggak
mau mengganggu mereka.
Kenapa nggak ke kamar Mbok Yum aja? Rara ke kamar
Mbok Yum, pembokat yang sejak kecil merawatnya. Ia
bangunkan Mbok Yum, lantas mengajaknya ke kamar Rara.
Malam itu, apa boleh buat, Rara tidur ditemani Mbok Yum.
Ketika sudah berada di kamarnya, Mbok Yum melanjutkan
tidurnya. Mbok Yum tampak nyenyak dan damai! Rara sendiri
masih nggak mampu memejamkan mata!
Rara tetap nggak bisa tidur. Padahal, papanya pernah
bilang, "Ra, hantu hanya mendatangi seseorang yang kosong
jiwanya. Hantu hanya bisa dilihat oleh orang yang percaya
bahwa sosok hantu memang benar-benar ada!"
Huaaah, sekarang ini jiwa Rara kosong? Apakah Rara
percaya sama hantu?
Uh, ampun, deh! Tiba-tiba, tawa seorang presenter acara
misteri di salah satu televisi swasta itu meledak-ledak di
kepalanya.
"Huahahaha .... Hukaaa-hukaaa
Bersamaan dengan itu, Rara ingat ucapan guru agama di
sekolahnya, bahwa hantu itu nggak bisa dilihat dengan mata
biasa.Akhirnya, Rara sadar kalo ia nggak bisa melihatnya.
Kenapa mesti takut?


Rara membangunkan Mbok Yum, memintanya kembali ke
kamar Mbok Yum lagi. Dengan langkah malas, Mbok Yum
berjalan tertatih-tatih ke kamarnya. Kini, Rara kembali
sendirian di kamarnya. Dan, munkin Mbok Yum udah kembali
nyenyak di kamarnya.
Rara senyum-senyum sendiri, ngerasa puas bisa ngalahin
rasa takutnya. Rara kembali berusaha memejamkan matanya.
Tapi, sayang, masih belum juga bisa. Bersamaan dengan itu,
jam dinding di ruang tengah berdentang dua belas kali.
Suaranya sama persis dengan jam di acara misteri tadi.
Teng! Teng! Teng!
Uh, Rara ingat lagi acara misteri tentang rumah kosong itu!
Rumah kosong, biasanya suka ditempati makhlukmakhluk
halus, hantu-hantu penasaran. Rumah kosong? Uh,
ia ingat. Di depan rumahnya yang besar dan asri ini, tepat di
depan jendela kamar Rara, ada rumah kosong. Rumah kosong
di seberang jalan itu sudah ada sejak Rara belum pindah.
Rara nggak tahu siapa penghuni rumah kosong itu. Sebelum
ini, Rara nggak pernah peduli sama cerita-cerita seram
tentang rumah kosong itu. Habis, Rara emang nggak percaya
sama hal-hal gituan.
Meskipun ada yang bilang bahwa dulunya ada yang
gantung diri di rumah itu, Rara nggak peduli. Ada yang cerita
kalo di sekitar rumah itu suka ada cewek cantik "jadi-jadian"
yang hobi menggoda pejalan kaki,bisa menghilang atau
berubah jadi nenek-nenek jelek kayak Mak Lampir. Rara juga
nggak peduli. Dan, ada pula hal-hal yang juga nggak pernah
Rara pedulikan tentang rumah sebelahnya itu, yakni adanya
suara seseorang merintih tengah malam!
Tiba-tiba, semua yang nggak pernah Rara pedulikan itu,
malam ini muncul secara seketika di kepalanya. Rara kembali
teringat adegan di teve tadi, seorang perempuan cantik
tertawa-tawa di depan rumah kosong, tetapi setelah didekati
oleh seorang pejalan kaki atau pengen-dara sepeda motor,
perempuan itu menghilang!


Rara bangkit dari tidurnya, merapatkan tubuhnya ke
dinding.Mendadak napasnya ngos-ngosan turun naik, seperti
seseorang yang berlari berjarak ribuan meter! Sekujur
tubuhnya bermandi keringat. Ketika tubuhnya telah rapat ke
dinding, yang jaraknya beberapa senti dari jendela kamarnya,
Rara menyibak gorden jendela itu. Tampaklah rumah
kosong itu yang tampak gelap. Pepohonan yang tumbuh
nggak keurus di halaman rumah itu, meliuk-liuk tertiup
angin.Rara terus menatap pintujendela-jendela, dan
keseluruhan rumah kosong itu. Sepertinya, ada seorang
cewek bergaun putih-putih melambai-lambaikan tangan ke
arahnya! Sepertinya .... JLEGER!
Suara petir bergemuruh setelah dua kali kilatan yang
menyambar-nyambar di atas atap rumah kosong itu.Rara
menjerit kaget.Bersamaan dengan itu, hujan turun.
JLEGER!
Petir bergemuruh lagi, diiringi hujan. Rara kembali
menatap rumah kosong itu dari balik jendela kamarnya. Nggak
ada siapa-siapa di sana!
Tetapi, bulu kuduknya merinding. Rara kembali teringat
adegan di acara misteri, hantu perempuan tertawa cekikikan di
tengah gemuruhnya hujan. Tawa cekikikan hantu itu sungguh
menakutkan Rara. Kini, suara itu seperti terdengar dari rumah
kosong!
Rara segera menghambur ke luar kamar, mengetuk pintu
kamar Mbok Yum!
SORE ini, sepulang sekolah, Rara mendapati sekumpulan
orang di depan halaman rumahnya. Orang-orang itu ternyata
lagi melihat rumah kosong itu. Entah apa yang terjadi di sana,
hingga begitu banyaknya orang berkumpul sampai ke halaman
rumah Rara.
"Ada apa, Pak?" Rara bertanya sama satpam kompleks.
Satpam ini udah nggak asing lagi bagi Rara karena beliau


udah bekerja sejak kompleks perumahan elite ini baru
dibangun.
"Itu lho, Non! Katanya, dini hari tadi ada tukang bakso
lewat di depan rumah kosong ini. Lalu,ia berhenti tepat di
depan rumah ini karena ada yang memesan bakso," jelas
satpam itu.
"Siapa yang memesan bakso? Bukankah itu rumah
kosong?" potong Rara.
"Saya juga nggak tau, Non. Tau-tau, mangkuknya udah
tergeletak di depan rumah kosong ini! Tukang bakso itu tibatiba
menghilang!"
"Terus, gimana?" Rara tambah penasaran.
"Sabar dulu, dong! Tarik napas dulu. Emang, Non nggak
tau apa, kalo semalam ada tukang bakso keliling?"
"Saya kan, udah tidur!" Rara pura-pura bego. "Oh
"Terus, gimana?" tanya Rara.
"Terus, sampai di mana tadi?"
"Tukang bakso itu tiba-tiba menghilangi Huuuh gimana,
sih?!" Rara jadi jengkel.
"Oh, ya. Setelah itu, beberapa satpam menemukan dua
mangkuk yang habis dipakai di depan halaman rumah kosong
itu. Mungkin, tukang bakso itu menghilang di dalam rumah
kosong itu!"
"Tapi, siapa yang menjamin kalo tukang bakso itu masih
berada di dalam rumah kosong itu?!" desak Rara semakin
penasaran.
"Waduh, Bapak juga kata orang!" satpam itu kebingungan.
"Terus, orang-orang ini ngapain?"
"Mereka penasaran apakah tukang bakso itu ada di dalam
rumah kosong atau nggak."
"Sudah lapor polisi?"


"Polisi datang tadi siang, tapi cuma meriksa."
"Mereka bilang apa?"
"Susah! Hal-hal gaib itu kan, nggak ada dalam undangundang?"
"Ih, Bapak ngomong apa, sih?!" Rara pura-pura pilon.
"Baca koran, dong! Emangnya, hantu bisa dijerat hukum?"
"Hah?! Kayaknya, makin nggak jelas aja, nih!" Rara
tambah bingung.
"Kesimpulannya, polisi malah mengusir orang-orang yang
berkerumun di rumah kosong ini karena nggak ada bukti
kejahatan yang bisa dilacak! Cuma, mereka masih penasaran.
Di antara mereka, ada paranormal segala, lho!"
"Ya udah, deh! Rara jadi bingung, nih."
Setelah itu,Rara memasuki halaman rumahnya, dan
bergegas masuk ke rumah. Rara masih nggak ngerti, kenapa
tadi malam ia nggak melihat sebuah gerobak bakso di depan
rumah kosong itu! Lagi pula, Rara nggak percaya sedikit pun,
atas apa yang baru diceritakan oleh satpam itu. Namun,
orang-orang yang berkerumun itu, kenapa mereka berada di
sekitar rumah kosong itu? Jangan-jangan, mereka percaya
kalo tukang bakso keliling yang disebut-sebut satpam itu
masih berada di dalam rumah kosong itu.
Hiiiyyy ... Rara bergidik setengah mati. Ketika berada di
dalam rumah, Rara langsung disambut Mbok Yum.
"Aduh, gawat! Gawat!" teriak Mbok Yum, dengan suara
bergetar.
"Gawat kenapa?" Rara pura-pura nggak ngerti. Padahal
Rara tau, pasti Mbok Yum mau ngomong tentang rumah
kosong itu!
"Itu lho, rumah kosong itu!"
"Iya, kenapa?"


"Non liat, kan, orang-orang yang pada ngumpul?"
"Iya, iya, Rara tau!"
"Mereka lagi nunggu tukang bakso itu keluar!"
"Tukang bakso?!" Rara semakin berlagak pilon.
"Iya. Setelah mengantar pesanan ke rumah kosong itu,
katanya tukang bakso itu nggak pernah kembali!"
Uh, pasti Mbok Yum termakan omongan satpam itu. Tapi
apa bener, ya?
"Non! Non! Kok, malah bengong?"
"Eh, iya, Mbok! Terus, Mbok?"
"Terus Non, katanya malam ini papi sama mami nggak
pulang. Ada rapat penting di hotel. Kata mami, tadi nelepon ke
HP Non Rara, tapi nggak nyambung-nyambung!"
"Ya udah. Papi mami kan, emang udah biasa ada rapat
mendadak kayak gini?"
"Mbok Yum tau. Tapi "Kenapa?"
"Biasanya kan, kalo papi sama mami Non Rara nggak
pulang, Non Rara bisa ditemani sama Mbok."
"Lha, iya lah!"
"Iya bagaimanaTolong malam ini Mbok Yum mau
menginap di rumah saudara Mbok Yum."
"Mbok Yum juga mau pergi?"
"Iya, saudara Mbok Yum sakit. Mbok Yum sudah minta izin
sama papi-mami Non."
"Mereka ngasih izin?"
"Kata mereka, sih ... terserah Non Rara."
Rara jadi bimbang. Apakah ia ngizinin atau nggak.
Rasanya, ia terlalu kejam kalo nggak ngizinin Mbok Yum
nginep di rumah sodaranya yang sakit itu. Tapi, kalo Rara
izinin, siapa yang nanti malam menemaninya di rumah?!


"Ya sudahlah. Mbok Yum boleh menginap!"
"Bener, Non?" Mbok Yum nggak percaya.
"Bener!"
"Non Rara nggak takut sendirian di rumah?" "Takut? Takut
apa?" "Hehehe ... kali aja
MALAM ini, papi, mami, dan Mbok Yum nggak ada di
rumah. Rara mengunci seluruh pintu dan jendela rumahnya
rapat-rapat.Sebelum memeriksa jendela kamarnya sendiri, ia
menyibak gordennya, dan tampak rumah kosong itu!
Rumah kosong di seberang jalan itu begitu gelap dan sepi.
Rupanya, orang-orang yang berkumpul sejak siang sampai
sore tadi sudah meninggalkannya.Apalagi,sore ini gerimis
tumpah menyiram tanah.
Setelah semua beres, Rara merebahkan tubuhnya di
kasur. Matanya sempat melirik televisi.Hm ia ragu
menghidupkannya. Belakangan ini, Rara rajin nonton acara
berbau gaib dan misteri. Apakah malam Jumat ini ia pun
menon-tonnya lagi?
Tiba-tiba, Rara teringat adegan demi adegan yang berbau
pocong, kuburan, dan hantu penasaran. Bulu kuduknya
mendadak berdiri. Rara menggeser letak telepon di sebelah
tempat tidurnya, berharap bisa langsung menghubungi nomor
seseorang kalo ia membutuhkannya!
Kriiing ...f f f
Rara melonjak kaget karena tiba-tiba telepon itu berdering.
Ia ingin mengangkatnya, tapi ragu. Jangan-jangan, telepon itu
dari .... Dalam sebuah adegan sinetron misteri, hantu bisa
menelepon seseorang yang tengah sendirian!
Rara makin ngeri aja! Pada saat bersamaan, iseng-iseng
Rara menyibak gorden jendela kamarnya. Rara mengamati
sosok berbaju putih melambai-lambaikan tangannya. Rara
langsung menutup gordennya.Tapi ... tiba-tiba,Rara merasa


kenal dengan orang yang melambai-lambaikan tangan itu.
Perempuan itu seperti ... mamanya!
Rara kembali menyingkap gorden jendela kamarnya.
Mendongakkan kepala, mendapati mama, papa, dan satpam
yang berteriak-teriak. Tampak mamanya menghidupkan
HP.Dan terdengarlah dering telepon di kamarnya.
"Halo ...!" Rara mengangkatnya, karena merasa telah
mengenali orang yang meneleponnya.
"Halo, Ra! Kok, nggak diangkat-angkat? Ini Mama sama
papai Kamu ini gimana, sih? Semua pintu kamu kunci dari
dalam! Mama sama papa nggak bisa masuk!"
Rara langsung menutup telepon, setengah berlari keluar
kamar membuka pintu rumah.


Mimpi Selebritis
SUDAH dua hari ini, Siska nggak masuk sekolah. Semua
teman di kelas nggak heran. Siska nggak masuk karena izin
buat keperluan casting. Ia bilang, memenuhi tawaran seorang
produser untuk membintangi sebuah sinetron! Seisi kelas jadi
seneng abis. Karena sebentar lagi, sohib mereka bakal ada
yang jadi bintang sinetron! Jadi selebritis!
"Duh, Siska! Coba, gue punya tampang manis kayak dia.
Gue juga kepengin main sinetron!" ucap Dara, pada Rini dan
Sasa. Temen-temen lainnya ikutan nguping.
"Emangnya, jadi pemain sinetron harus yang manis-manis,
apa?" celetuk Kiki, yang katanya selalu sirik sama manusia
bertampang manis.Habis, te-men-temennya bilang, doi ini
bertampang misterius, semacam Tante Suzana yang demen
banget berperan jadi Sundel Bolong itu! Hihihi padahal aslinya
Tante Suzana itu manis, lho! Kalo Kiki, emang sehari-harinya
keliatan misterius!
"Nggak juga sih, Ki. Kalo semua bintang sinetron
bertampang manis, ntar siapa dong, yang berperan jadi
pembokat?" sodok Jejen yang belakangan ini diam-diam suka
merhatiin Kiki.
"Kalo cuma jadi pembokat, gue sih, ogah jadi bintang
sinetron! Malu-maluin aja!" sambar Dara sambil pasang muka
sinis.
"Emangnya, siapa yang sudi ngajak elo jadi bintang
sinetron, Ra?!" Rini kesal.
"Iya, Ra. Lagian, biar peran pembokat, yang penting
bintang sinetron! Elo pasti nggak tau sinetron Inem Pelayan
Seksi, ya? Coba kalo elo tonton, bakalan kaget ngeliat Inem
yang pembokat itu tampangnya cute banget!" Sasa ikutan
komentar.
"Nggak seberuntung Siska. Sampe peran pembantu pun,
gue nggak mungkin!" ucap Dara, lunak tapi kenes.


"Maaf ya, Ra! Gue nggak bermaksud nyakitin elo.Dan,
Siska emang udah sepantasnya meraih apa yang ia citacitakan
sejak lama, jadi bintang sinetron. Nggak percuma kalo
selama ini, Siska suka keliling-keliling mal atau ikutan lomba
foto model," Rini ikutan melunak.
"Mmm ... Siska ikutan lomba foto model sih,gue udah tau,
Rin. Bahkan, dia pernah masuk nominasi cover gir/. Tapi ...
keliling-keliling mal itu apa maksudnya?" tanya Dara akhirnya.
"Ooo elo belum tau ya, Ra? Siska itu sering ke mal karena
berharap ada produser yang mengajaknya main sinetron! Kan,
emang enggak sedikit artis sinetron yang ditemuin dari mal?"
kata Rini.
"Elo bener, Rin. Gue juga pernah baca di tabloid
hiburan,artis sinetron yang awalnya diajak main sinetron garagara
ditemuin di mal!" Sasa menambahkan.
"Wah ... coba gue sering-sering nongkrong di mal?!" Jejen,
cowok yang seneng berpenampilan dekil itu, ikutan ngomong
lagi.
"Waduh, kalo elo sampe sering nongkrong di mal, bisa
gawat, Jen! Kasian sama satpamnya! Mereka bakal sibuk
merhatiin elo!" cerocos Sasa.
"Eh ... emangnya, tampang gue kayak maling, apa?" Jejen
kesal.
"Beda-beda tipis, lah!" sahut Kiki, sambil ketawa
ngakak.Semua anak ikutan ngetawain Jejen.
"Ya, udah! Liat aja nanti!"ancam Jejen. "Paling nggak, kalo
Siska udah ngetop,gue bakalan selalu mendampingi dia jalanjalan
ke mal. Jadi ... body guard-r\ya\" lanjutnya bersemangat,
sampe-sampe mulutnya berbusa.
"Eh, ngaca! Ngaca! Siska nggak bakalan mau sama elo!
Jijay, tau?!" sambar Rini, sengit.


"Tunggu tanggal mainnya!"teriak Jejen, nggak kalah sengit.
Setelah itu, Jejen keluar kelas sambil menutupi kedua
telinganya, karena semua anak mendamparatnya.
"Huuu ...! Jejen dekil!"
"Jejen kumal!"
"Jejen kumuh!"
"Psssttt ... udah, udah ... kasian Jejen! Kalo rapi,
sebenernya Jejen itu lumayan, tau!" Kiki menengahi temantemannya.
"Ketauan, ya?! Kalo naksir, sana kejar!" teriak anak-anak.
"Gue, naksir si Jejen? Sori, ya! Enggak level! Soalnya, gue
pun bentar lagi jadi bintang sinetron!"
"Hah? Elo, Ki? Jadi bintang sinetron? Mimpi kali, yeee ...!"
"Tunggu aja! Mulai siang ini, pas bubar sekolah,gue
langsung nongkrong di mal!!!
"Mau ngapain?!" tanya anak-anak, heran.
"Masa nawarin parfum? Ya cari produser sinetron, lah!"
sahut Kiki, sambil ngacir keluar kelas, nyusul Jejen.
HARI ini,Siska masuk sekolah dan keliatan lelah setelah
dua hari berturut-turut nggak masuk lantaran ikutan casting
sinetron itu.
"Emang, capek ya, Sis?!" selidik Dara.
"Gila, Ra! Yang casting antre!"
"Terus, elo lulus nggak?"
"Tinggal nunggu kabar. Paling,satu-dua hari ini."
"Gue doain, Sis. Mudah-mudahan, elo lulus tes!"
"Makasih, Ra."
"Tapi jangan lupa sama kita-kita ya,Sis!" harap Rini.
"Maksud, elo?"


"Gue khawatir aja. Ntar, kalo elo udah ngetop, elo lupa
sama kita-kita."
"Don t worry, friends! Gue bukan 'kacang lupa sama
kulitnya'."
"He-eh,Sis! Gue ngerti maksud elo!"serobot Jejen, yang
tau-tau udah masuk ke kerumunan anak-anak cewek.
"Sok tau! Kacang lupa sama kulitnya itu apa, hayo?!"
sembur Kiki.
"Gini, Ki. Siska itu kan, nantinya bintang sinetron. Nah, pas
doi makan kacang, doi enggak lupa mesti ngupas kulitnya
dulu! Masa, mentang-mentang bintang sinetron, makan
kacang sampai sama kulit-kulitnya?!"
"Huuu ...!" semua anak yang mendengar ocehan Jejen,
serentak mencubiti tubuhnya.
"Ampuuun ...! Ampuuun ...!"Jejen teriak-teriak.
"Ngakunya mau jadi body guard?1. Baru dikeroyok lima
cewek aja udah kalang-kabut!" umpat Dara.
PAGI ini, Siska nggak masuk sekolah. Menurut kabar, doi
udah mulai syuting sinetron hari ini!
"Elo tau dari siapa, Ra?" selidik Sasa.
"Semalam, Siska nelepon gue. Katanya, dia lulus casting.
Wuih, heboh banget, ya?!" ucap Dara berapi-api, tapi mulutnya
enggak sampe ngeluarin asap, sih.
"Ya, Tuhan! Siska lulus casting?! Woooy ... semuanya!
Denger, ya! SISKA MAIN SINETRON!" teriak Sasa sambil
berlari ke sana-kemari, kayak orang kebakaran jenggot.
Untung, Sasa nggak punya jenggot.
"Aduh, duh, duh ... hik, hik, hik akhirnya, sohib gue jadi
bintang sinetron!" Jejen malah terharu,
"Hah? Gila! Hebat! Agnes Monica bakal punya saingan
beraaat .,,!" teriak Kiki, sambil melompat-lompat, persis nenekTXT
oleh : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

nenek kebakaran bulu ketek! Hihihi kalah tuh hutan di
Kalimantan.
"Judul sinetronnya apa, sih?"
"Lawan mainnya siapa? Roger? Revaldo? Syah-rul? Atau
... Irwansyah? Ck, ck,ck!"
"Nggak tau,deh. Kita tunggu aja kabar selanjutnya."
HAMPIR seminggu, Siska nggak masuk sekolah.
Semuanya menanti kehadirannya. Mereka pada enggak sabar
menunggu.
"Emangnya, berapa hari sih, syutingnya?"tanya Sasa.
"Bisa jadi sebulan," jawab Dara asal.
"Walah ...! Sebulan? Apa nggak lebih baik sekalian
berhenti sekolah aja?"
"Hus! Udah nggak aneh bintang sinetron tuh kayak gitu!
Tapi, biasanya orang macam Siska da-pet dispensasi dari
sekolah. Artis kan, emang gitu? Nanti mendatangkan guru
privat ke lokasi syuting! Mmm ... pokoknya, jadi bintang
sinetron itu oke banget!" Jejen sok tau.
"Gue enggak percaya sama omongan elo, Jen! Mulut elo
aja bau jengkol!!"
"Emangnya, kenapa kalo mulut gue bau jengkol?! Asal elo
pada tau, bagi gue, rasa jengkol tuh, surga dunia!"
"Bau jengkol aja bangga! Biar bau jengkolnya ilang, sono,
makan pete!" hardik Kiki.
"Bodyguard kok, suka makan jengkol? Kasian atuh,
para penggemar!"
"Udah, udah ...! Kenapa jadi ngebahas jengkol, sen?"
"Iya, neh! Sono, Jen, bersihin mulut elo! Perasaan,
di kantin kita nggak ada menu jengkol?"
"Jejen pesen di warteg seberang sekolah, bo!"


"Pantes."
"Terus, masalah Siska, gimana, dong?"
"Ya mau gimana? Kita tunggu aja kabar
selanjutnya."
"Udah dihubungi lewat HP?"
"Enggak aktif. Sibuk ngelayanin wartawan, kali?"
"Uh, bintang sinetron!"
SISKA kembali masuk. Kontan, semua anak pada
mengerumuninya. Malah, ada yang pura-pura minta tanda
tangan segala.
Gimana syutingnya, Sis?"
Lawan mainnya siapa aja?"
Judul sinetronnya apa, sih?"
Tayangnya kapan?"
Di stasiun apa?"
Gimana rasanya main sinteron?"
Bertumpuk-tumpuk pertanyaan menyerang Siska. Sayang,
Siska nggak mau menjawab.Ia cuma bilang, "Tunggu aja
beritanya di tabloid, satu atau dua minggu lagi. Soalnya, sang
produser ngelarang para pemain ngasih bocoran sama siapa
pun! Masih rahasia!"
"Jeee elo, Sis! Kita-kita kan, bukan wartawan. Kenapa
mesti rahasia-rahasiaan, sih?!" Kiki yang paling penasaran,
protes keras.
"Iya, Sis. Please deh, ah Semua anak merengek-rengek.
Siska nggak peduli sama rengekan teman-temannya. Lagi
puia, Siska pikir, pasti teman-temanku nggak bakalan puas
seandainya aku menjawab.


Namun,karena serangan teman-temannya yang bertubitubi,
terutama Kiki yang cerewet, akhirnya Siska menjawab
satu pertanyaan yang membuat teman-temannya puas.
"Gue main di FTV ucap Siska, yang langsung membuat
teman-temannya paham.
Semua pada tau, FTV itu Film Televisi alias telesinema,
sinetron yang sekali tayang langsung tamat.
"Judulnya?" sodok Kiki.
"Misteri Rumah Hantu." Ups! Siska keceplosan, ngasih tau
judulnya!
"FTV Misteri, ya?" tebak Dara.
"Udah, ah! Kok, jadi terus-terusan tanya, sih? Nanti aja,
tunggu tanggal mainnya!" Siska jadi berang.
"Pertanyaan terakhir," ucap Kiki, persis reporter yang mau
menyudahi wawancara. "Tayangnya kapan?" lanjut Kiki.
Karena ngerasa bosan dikerumuni anak-anak, akhirnya
Siska nyerah.
"Hari Jumat depan, jam delapan malam!"jawab Siska, dan
nggak lupa menyebut stasiun teve yang bakal
menayangkannya.
Merasa puas akan jawaban itu, anak-anak akhirnya
menyingkir dari Siska. Siska menghela napas, merasa lega
dijauhin sohib-sohibnya. Kasihan Siska, baru mengalami
sekali syuting, udah merasakan seperti bintang sinetron top
yang diserbu penggemarnya!
SABTU pagi, kelas Siska gaduh. Semua anak pada diskusi
soal film televisi yang mereka tonton semalam.
"Perasaan, gue nggak liat tampang Siska, deh!"ucap Kiki
dengan nada kecewa.
"Itu tuuh ... yang jadi cewek di pos ronda, yang menggoda
penduduk yang melintas,"kata Dara.


"Yang mana, ya? Habis,muka tuh cewek pucat gitu, sih.
Udah gitu, gue agak-agak ngeri nonton tuh sinetron!"
"Yeee ... nggak nyimak, sih!!!" timpal Jejen.
"Wah ... gue juga nggak fokus ke salah satu stasiun teve
tuh. Ng ... jadi, waktu syuting Siska yang seminggu itu, cuma
nongol lima menit itu doang?!" sungut Rini, tak kalah kecewa.
Semua anak mengangkat bahu.
"Pssttt ... Siska udah dateng bisik Rini kemudian.
Semua anak kompakan diam.
"Gimana, bagus nggak, akting gue?" tanya Siska, begitu
tiba di depan sohib-sohibnya.
Kontan, semua anak terbengong-bengong. "Emangnya, elo
yang jadi siapa sih, Sis? Eee sori, gue nggak begitu merhatiin
tuh sinetron," tanya Sasa polos.
"Ya ampun, elo, Sa! Gue kan, yang jadi kuntilanak jadijadian
itu!" jawab Siska, datar, lalu menghambur ke mejanya.
Sohib-sohibnya pada kebingungan,tapi akhirnya tersadar,
sebagian dari mereka yang menonton sinetron itu pasti
paham. Tokoh kuntilanak jadi-jadian yang diperankan Siska
bertampang jelek, seperti Mak Lampir, yang sepanjang
sinetron itu sering ke-tawa menyeramkan. Kecuali pas adegan
di pos ronda,yang memakai wajah manis Siska
sesungguhnya, tentu dengan make-up dibuat agak seram.
"Ya ampun, Siska ... yang jadi kuntilanak itu elo, ya? Yang
ketawanya serem banget?"
Siska mengangguk senang. "Wah, selamat deeeh ...!"
Satu persatu, sohib Siska memberi ucapan selamat pada
Siska, yang mereka anggap berakting bagus. Saking
bagusnya, mereka sampe nggak tahu kalo Siska sebenarnya
pemeran utama sinetron itu!


Cheerleader
SEMUA anak cewek ngomongin penampilan dahsyat
anak-anak cheerleader, yang jadi penggembira pada
pertandingan basket antarkelas. "Ya ampun, mereka keren
abis, deh!" "Piramid yang mereka bikin lain dari yang lain!"
"Gerakan mereka yahud banget!" "Aku pengin banget deh,
ikut latihan sama mereka."
"Tapi, nggak semua anak bisa ikut cheer's, lho! Banyak
persyaratannya."
Memang, nggak semua anak bisa jadi anggota
cheerleader. Padahal, banyak banget anak cewek yang jadi
anggotanya.Salah satu cewek yang ngebet banget jadi
anggota cheerleader adalah Bianca Sisilia Rombey, siswi
kelas satu K. Udah lama banget Bianca mimpi pengin jadi
anggota cheer's, tapi itu enggak mungkin banget.
Masalahnya, temen-temennya bilang Bianca nggak
punya senyum manis kayak anak-anak cheer's itu.Bianca
enggak mungkin bisa menghafal gerakan-gerakan yang biasa
diperlihatkan anak-anak cheer's . Dan, kalo Bianca ngotot
gabung sama anak-anak cheer's, dipastikan bakal
memperburuk penampilan anggota cheer's lain, sebab
dianggap akan merusak pemandangan!
"Ya ampun, Bi, elo nggak pantes banget masuk tim
cheer's1."
"Cocoknya topeng monyet kali! Hahaha
"Jadi Sarimin-nya, dong! Hehehe
Bianca sebenarnya nggak peduli pendapat sinis temantemannya
itu. Masalah senyum, itu gampang dipelajari. Soal
gerakan-gerakan, bisa dihafal setiap hari. Penampilan juga
bisa dibuat stylist, kok. But, the main problem is ... Bianca
emang nggak bisa menutupi diri, kalo ia punya bodi balon gas!
Kayaknya, nggak banget deh, kalo tubuhnya yang gempal
melompat-lompat mengikuti gerakan-gerakan anak-anak
cheer's lainnya.


Persoalan sebenarnya adalah, kalo Bianca ngotot ikutan
cheer's, apakah dia bisa menurunkan berat badannya lima
belas kilo aja?! Oh, kayaknya berat banget! Sementara itu, diet
cuma bikin sengsara. Kalo ngomong soal diet, Bianca
langsung pusing tujuh keliling pangkat tiga belas. Life is hell!
Taruhlah Bianca bisa menurunkan bobotnya, tapi apa bisa
ia meninggikan tubuhnya dua puluh lima senti lagi, hingga
keseluruhannya minimal jadi 160 senti?
Dan kini Jelaslah ... bagi Bianca Sisilia Rombey, jadi
anggota cheer's cuma mimpi belaka!
"Gue bilang juga apa?! Elo tuh, cocoknya main basket!"
ujar Lola, satu-satunya anak cewek yang mau jadi temen
deket Bianca.
"Masa sih, main basket? Menghina banget, deh!"
"Abis, apa lagi? Anak-anak cheer's kan, manis-manis,
langsing-langsing, seksi-seksi .... Nah elo ...?"
"Oke, gue terima. Nah, elo malah bilang gue pantesnya
main basket! Gila aja. Tapi ... oke juga sih, saran elo.
Kayaknya, gue bisa main basket. Cuma ... kira-kira, posisi gue
apa?"
"Taelaaa elo tuh main basket bukan jadi pemainnya, tapi
jadi bolanya!"
Bianca nggak marah meskipun Lola sebenarnya
keterlaluan. Lagian, buat apa marah? Nanti, bisa-bisa dia
nggak punya teman.
AKHIRNYA, Bianca nggak mau pusing dan menyadari
sepenuhnya, kalo dirinya nggak mungkin jadi anggota cheer's.
Pada akhirnya, Bianca cuma bisa mengkhayal, seandainya dia
bisa jadi salah satu anak cheer's.
Bianca merasa beruntung memiliki kegemaran menulis
cerita. Keinginannya yang nggak bisa terwujud itu, ia tuliskan
di dalam sebuah cerita. Dalam cerita yang ia buat, ia menjadi
tokoh yang bisa menjadi anggota cheer's. Dalam sebuah


karangan, segalanya menjadi mungkin, termasuk Bianca yang
punya bodi nggak mendukung, toh ia tetap bisa menjadi
anggota cheerleader dalam cerita yang ia karang!
Meskipun memiliki tubuh supergendut dan pendek,
akhirnya Bianca bisa jadi anggota cheer's sekolahnya. Anakanak
cheer's mau nerima keadaan Bianca.
Seminggu sekali, Bianca ikut latihan bareng anak-anak
lainnya. Namun, ia sendiri berlatih setiap hari di rumah. Angkat
barbel, push up, sit up, lompat, lari, renang, semua ia lakukan
agar tubuhnya bisa lentur dan kuat. Tak lupa pula
menghafalkan semua gerakan cheer's-nya.
Hebatnya, ternyata Bianca mampu menandingi temantemannya
sesama cheer's. Bianca bahkan bisa menjadi
maskot cheer's karena gerakannya yang gesit dan lincah.
Setiap kali cheerleader yang beranggotakan Bianca, selalu
mendapat sambutan yang sangat meriah dari orang-orang.
Pada akhirnya,karena kehebatannya itu,Bianca jadi
cheerleader inti sekolah. Di setiap pertandingan, Bianca selalu
tampil bareng tim cheer's-nya. Bahkan, para penonton selalu
menanti-nantikan kehadiran Bianca dalam setiap
penampilannya. Bianca mampu tampil seperti anak-anak
cewek lain yang bertubuh langsing.
Hanya, semua itu cuma dalam cerita yang dibuat Bianca!
Karena yang terjadi sesungguhnya, Bianca tetaplah Bianca, si
gendut pendek yang nggak akan mampu bisa jadi anggota
cheer's, kecuali menuliskannya dalam sebuah cerita.
TULISAN Bianca tentang anggota tim cheer's sekolah yang
gendut pendek itu,dibaca oleh temen-temen sekelas. Ketika
selesai membacanya, salah satu teman Bianca terenyuh,
namun lega ketika baca ending-nya.Naskah Bianca yang
sudah dijilid rapi itu, diberikan pada anak-anak di kelas lain.
Bahkan jadi rebutan!
Seorang guru bahasa Indonesia ikut membaca tulisan
Bianca. Beliau meminta disketnya dan mengatakan akan


memberikan disket berikut naskah yang sudah d\-print out itu
pada penerbit.
"Kamu akan menjadi penulis terkenal, Bianca!" ujar guru
bahasa Indonesia pada Bianca.
BUKU itu diterbitkan!
Bianca nggak nyadar kalo cewek seperti dirinya bisa
menjadi 'sesuatu1. Meskipun nggak bisa jadi anggota
cheerleader, dia bisa bisa jadi seorang penulis! Apalagi, ketika
dihubungi, penerbit mengatakan kalo novel itu udah dua kali
cetak ulang dalam waktu seminggu sejak diterbitkan!
Aha, Bianca kini menjadi sangat berarti hidupnya. Ketika
promosi novelnya di salah satu sekolah, seorang cowok keren
meminta tanda tangannya.Dia mengaku sangat menyukai
novel itu. Si cowok itu juga meminta nomor HP Bianca.
Pada akhirnya, cowok itu jadi temen curhat Bianca. Mereka
seringkah saling SMS-an. Dan pada suatu malam Minggu, si
cowok ngajak Bianca jalan-jalan. Tapi, Bianca menolaknya,
karena dia mengaku sedang sibuk menulis cerita lainnya.


Zaenal Radar T., kelahiran Tangerang,7 Desember 1973
Bu-kunya yang telah terbit: Jerawatan (Cinta, 2005), Bunda,
Aku Jatuh Cinta (MU: 3 Books, 2DD5), The Last Lajang-er
(Lajang Terakhir), ditulis bareng Dono Indarto (Gagas Media,
2DDS), Kantin Love Story (LPPH, 2DD4), Airmata Laki-laki
(FBA, 2DD4), Ketemu Camer (DARI Mizan, 2DD4), Harga
Kematian (DARI Mizan, 2DD3), dan beberapa buah buku
anak-anak serta sejumlah antologi bersama penulis lain.
Cerpen-cerpennya dimuat dalam sejumlah media, di
antaranya majalah CEWEK, Kawanku, ANEKA Yessl,
FANTASI Teen, Mahardika, KEREN Beken, GAUL, CINTA,
dan lain-lain. Saat ini, ia menjadi kontributor sejumlah media
serta menulis cerita dan skenario sebuah rumah produksi di
Jakarta.Setelah semua lapangan sepak bola di daerahnya
tergusur dan diganti dengan perumahan dan mal, hobi main
sepak bolanya menjadi bersepeda keliling kampung. Dan tentu
saja, bila senja datang, Zaenal selalu menyempatkan diri
untuk minum teh sambil membaca atau menonton film.
Buat kamu-kamu yang penasaran dengan karya-karyanya,
bisa kirim e-mail ke zaenal_radar_t@yahoo. com.


0 comments:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda di sini :)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | blogger mura
Ping Blog Ping your blog HyperSmash