Oleh: Dr. Warsiman, M.Pd.
- Pembuka
Semua hasil proses perkembangan bahasa, baik penambahan, pengurangan, maupun penggantian dalam bidang apa saja pada bahasa termasuk bunyi, bentuk dan makna dapat ditandai sebagai perubahan bahasa.
Pada dasarnya ada dua macam perubahan dalam bahasa, yakni perubahan yang terjadi “di dalam” bahasa itu sendiri, yang disebut perubahan internal, dan perubahan “oleh pengaruh” bahasa lain, yang disebut perubahan eksternal. Oleh karena unsur bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri adalah kata, maka yang dimaksud dengan perubahan internal adalah perubahan yang terdapat pada kata-kata asli bahasa tersebut. Di dalam bahasa Indonesia perubahan internal itu, misalnya; saya < sahaya, baru < baharu, sate < satai dan sebagainya, tanpa mengubah makna kata-kata tersebut. Kecuali perubahan kata saya < sahaya, tidak hanya perubahan bentuk tetapi juga perubahan makna, yakni ‘sahaya’ yang semula bermakna ‘budak belia’. Termasuk dalam hal ini kata tentara < balatentara.
Sedang perubahan eksternal dalam bahasa Indonesia, misalnya kalbu < qalbu, pikir < fikir, paham < faham, hadir < hadir dan sebagainya tanpa mengubah makna kata-kata tersebut.
Oleh karena sulit sekali membedakan secara rapi antara perubahan internal dan eksternal, maka dalam bahasan tulisan ini, penulis tidak membicarakannya lebih lanjut.
Perubahan bahasa dapat meliputi semua aspek kebahasaan, baik fonologi (bunyi), morfologi (bentuk), sintaksis (kalimat) dan semantik (makna). Karena perubahan sintaksis dalam bahasa Indonesia tidak banyak penulis temukan , maka pada pembahasan tulisan ini pun dibatasi pada pembicaraan tentang perubahan bunyi (ejaan), bentuk dan makna.
- Perubahan Bunyi dalam Bahasa Indonesia
Perubahan fonologi (bunyi) berangkat dari perjalanan ejaan yang pernah berlaku di Indonesia. Kita pasti sudah mengetahui bahwa ejaan bahasa Indonesia di mulai dari ejaan Van Ophuysen yakni ejaan resmi untuk bahasa Melayu yang disusun oleh Prof. Ch. A. Van Ophuysen dengan bantuan beberapa orang guru bahasa Melayu seperti Engku Nawawi gelar Sutan Makmur dan Muhammad Taib Sutan Ibrahim, yang diterbitkan pada tahun 1901. Kemudian ejaan Van Ophuysen pada tanggal 19 Maret 1947 disederhanakan oleh Mr. Soewandi (menteri P dan K ketika itu). Ejaan ini kemudian dikenal dengan nama Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi.
Selanjutnya, pada tahun 1956 muncul Ejaan pembaharuan, tahun 1959 muncul Ejaan Melindo, dan pada tahun 1966 terdapat Ejaan LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan), yang kemudian Ejaan LBK mengalami perbaikan dan penyempurnaan yang dinamakan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) pada tanggal 16 Agustus 1972. Dengan perjalanan pergantian ejaan yang berlaku di Indonesia, berdampak pada perubahan ejaan yang ada dalam bahasa Indonesia. Perubahan ejaan inilah yang juga penulis masukkan dalam perubahan bunyi dalam pembahasan ini.
Sebelum EYD EYD
/j/ (jang) /y/ (yang
/oe/ (moeloet) /u/ (mulut)
/tj/ (tjinta) /c/ (cinta)
/’/ (ru’yat) /k/ (rukyat)
/2/ (ke-kanak2an) / / (kekanak-kanakan
/dj/ (djalan) /j/ (jalan)
/nj/(njonja) /ny/ (nyonya)
/sj/(sjarat) /sy/ (syarat)
/ch/ (tarich) /kh/ (tarikh)
/ay/ (pantay) /ai/ (pantai)
/aw/ (kerbaw) /au/ (kerbau
/oy/ (amboy) / oi/ (amboi)
Selain perubahan akibat dari pergantian/ perubahan ejaan yang berlaku, perubahan bunyi juga terjadi akibat adanya pengaruh bahasa pungutan, seperti berikut ini.
-/dl/ berubah menjadi /d/:
hadir < hadlir, fardu < fardlu, rida < ridla, ramadan < ramadlan dan sebagainya.
-/kwa/, /qua/ berubah menjadi /kua/:
akuarium < aquarium atau akwarium, kualitas < qualitas atau kwalitas dan sebagainya.
-/x/ berubah menjadi /ks/ kecuali berposisi di depan.
taksi < taxi, ekstra < extra, ekskutif < exekutif, textil dan sebagainya.
Kecuali /x/ yang berposisi di depan kata, /x/ tidak dapat diubah. Misalnya sinar x tidak dapat diubah sinar ks, xenon tidak bisa diubah ksenon, xilofon tidak dapat diubah ksilofon dan sebagainya.
- Perubahan Bentuk Kata dalam Bahasa Indonesia.
Telah kita maklumi bahwa bahasa, terutama bahasa Indonesia selalu tumbuh dan berkembang. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya itu, wajar bila selalu terdapat peristiwa perubahan, terutama bentuk kata. Pada umumnya, perubahan bentuk kata disebabkan oleh adanya perubahan beberapa kata asli karena pertumbuhan dalam bahasa itu sendiri, atau karena adanya perubahan bentuk dari kata-kata pinjaman.
Perubahan bentuk kata atau kalimat dalam bahasa lazim disebut gejala bahasa, demikian menurut Masnur Muslich (1990:104). Gejala bahasa menurut Dr. J.S Badudu dalam bukunya Pelik-Pelik Bahasa Indonesia (1985:47) adalah “peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata atau kalimat dengan segala macam proses pembentukannya”.
Adapun macam dan wujud perubahan/ bentukan kata yang dijumpai dalam bahasa Indonesia diuraikan berikut ini.
1. Analogi
Analogi adalah pembentukan suatu kata baru berdasarkan suatu contoh yang sudah ada (Keraf, 1987:133). Contoh perubahan bentuk dalam bahasa Indonesia karena analogi adalah sebagai berikut.
- Dalam bahasa Indonesia, sudah dikenal kata dewa-dewi, putra-putri. Kata-kata ini berasal dari bahasa Sansekerta. Fonem /a/ dan /i/ pada akhir kata mempunyai fungsi menyatakan jenis kelamin benda yang disebutkan itu: dewa ialah hyang, yang, ilah, laki-laki, dan dewi, perempuan; putra ialah laki-laki, dan putri anak perempuan. Berdasarkan bentukan tersebut dalam bahasa Indonesia muncul saudari di samping saudara; siswi di samping siswa; mahasiswi di samping mahasiswa; pemudi di samping pemuda; dan sebagainya. Walau akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk mengembalikan ke bentuk semula.
- Dari kata-kata hartawan, rupawan, bangsawan dibentuk akta-kata baru seperti; olahragawan, negarawan, sosiawan, karyawan dan segainya, untuk golongan laki-laki, sedangkan untuk menyatakan jenis perempuan dipakai akhiran –wati, sehingga terbentuk olahragawati, negarawati, sosiawati, karyawati. Akhiran-wati dianalogikan dengan nama Dang Meduwati (ibu Hang Tuah dalam Hikayat Hang Tuah). Nama-nama wanita di Indonesia banyak yang meniru hal ini, misalnya; Megawati, Fatmawati, Setiawati, Indrawati, Kurniawati dan sebagainya.
- Di samping bentukan-bentukan baru yang menyatakan perbedaan jenis kelamin terdapat pula bentukan dari kata-kata asli, misalnya bentuk-bentuk seperti; sosialisme, sosialis, dan sebagainya. Analog dengan itu terbentuklah kata-kata: marhaenisme, marhaenis; pancasilaisme, pancasilais; feminisme, feminis; dan sebagainya.
- Bentukan analogi dari bahasa Belanda “onrechtvaardigheid” dibuat orang istilah ketidakadilan; “onrechtvaardig” artinya tidak adil; “held” morfem dalam bahasa Belanda pembentuk kata benda yang menyatakan sifat, disejajarkan dengan imbuhan ke-an dalam bahasa Indonesia (Badudu, 1985:49). Pembentukan kata seperti ini sangat berhasil karena dengan bentuk yang singkat, ekonomis, diperoleh istilah yang dikehendaki. Dari bentukan itu lahir analogi dengan bentukan ketidak –an seperti: ketidaktertiban, ketidakberesan, ketidakhadiran, dan sebagainya.
- 1. Kontaminasi
Dalam bahasa Indonesia, kata kontaminasi sama dengan kerancuan. Kata rancu berarti ‘campur aduk, ‘kacau’ (Muslich, 1990:106). Dalam bidang bahasa, kata rancu (kerancuan) dipakai sebagai istilah yang berkaitan dengan pencampuradukan dua unsur bahasa (imbuhan, kata, frase, atau kalimat) yang tidak wajar. Ketidakwajaran yang menunjukkan bentuk rancu (khusus bentukan kata) dicontohkan sebagai berikut.
- ‘dilegalisirkan’ dan ‘diorganisirkan’
Pada contoh tersebut terlihat kerancuan akhiran {-ir} (Belanda) dengan akhiran {-kan} Indonesia. Baik akhiran {-ir} maupun akhiran {-kan} berfungsi membentuk kata kerja. Pada contoh tersebut terjadi dua kali proses pembentukan kata kerja; pertama, dengan akhiran {-ir}, dan kedua, dengan akhiran {-kan}. Seharusnya kata tersebut menjadi dilegalisir atau dilegalisasi, dan diorganisir atau diorganisasi. Walaupun sejatinya imbuhan –ir sendiri dianggap tidak tepat karena penyerapan dari bahasa Belanda yang tidak dilakukan secara benar, dan sebagai gantinya kita menggunakan unsur serapan yang berasal dari bahasa Inggris (seperti: ligalisir menjadi ligalisasi, organisir menjadi organisasi, isolir menjadi isolasi, koordinir menjadi koordinasi, manipulir menjadi manipulasi, inventarisir menjadi invetarisasi).
- ‘dipertinggikan’
Dari bentukan ‘dipertinggi’ yang artinya ‘dijadikan lebih tinggi’ dan ‘ditinggikan’ yang artinya ‘dijadikan tinggi’, dibuat jadi tinggi yang tadinya rendah.
- ‘mengeyampingkan’
Dari bentukan ‘menyampingkan’ (di +samping + kan) dan ‘mengesampingkan’ (di +kesamping + kan).
- ‘menundukkan badan’
Dari bentukan ‘membungkukkan badan’ dan ‘merundukkan kepala’
3. Adaptasi
Adaptasi artinya penyesuaian. Kata-kata pungut yang diambil dari bahasa asing berubah bunyinya sesuai dengan penerimaan pendengaran atau ucapan lidah orang Indonesia. Sebagian besar kata-kata ini bentukan rakyat jelata (Badudu, 1985:65).
Contoh dari bahasa Belanda: Dari bahasa Portugis
persekot dari voorschot picu dari frecho
sirop dari stroop peseroan dari parceiro
pelopor dari voorloper lemari dari almari
Dari bahasa Arab Dari bahasa Inggris
perdu dari fardhu riset dari research
tepekur dari tafakkur pasien dari patient
kesumat dari khuasumat efisien dari effisient
4. Pleonasme
Pleonasme dari kata Latin “pleonasmus” dalam bahasa Grika “pleonazein” yang artinya ‘kata berlebih-lebihan’ (Badudu, 1985: 55). Pleonasme dalam bahasa berarti pemakaian kata yang berlebihan-lebihan, yang sebenarnya tak perlu.
Misalnya:
(1) -Pada zaman dahulu kala banyak orang menyembah berhala (zaman=kala, sebenarnya cukup: pada zaman dahulu atau dahulu kala)
-Mulai dari waktu itu ia jera berjudi. (mulai=dari, salah satu saja yang dipakai)
-Sejak dari kecil ia sakit-sakitan (sejak=dari, sejak kecil=dari kecil)
(2) -Naik ke atas, turun ke bawah, mundur ke belakang, maju ke muka, melihat dengan mata kepala, menendang dengan kaki, dan sebagainya. Kata kedua sebenarnya tak perlu karena pengertian yang terkandung pada kata itu, sudah terkandung pada kata yang mendahuluinya.
(3) -Para guru-guru sedang rapat.
-….Mengunjungi beberapa negara-negara sahabat.
-Semua murid-murid sayang dan hormat kepadanya.
5. Hiperkorek
Hiperkorek merupakan proses bentukan betul dibalik betul. Maksudnya, sesuatu yang sudah betul dibetulkan lagi, yang akhirnya malah menjadi salah.
a) fonem /s/ menjadi /sy/ c) fonem /j/ menjadi /z/
insaf menjadi insyaf ijazah menjadi izazah
saraf menjadi syaraf jenazah menjadi zenazah
b) fonem /p/ menjadi /f/ d) fonem /h/ menjadi /kh/
pasal menjadi fasal hewan menjadi khewan
paham menjadi faham rahim menjadi rakhim
6. Adisi
Adisi adalah perubahan yang terjadi dalam suatu tuturan yang ditandai oleh penambahan fonem. Gejala adisi dapat dibedakan atas: protesis, epetensis, dan paragog.
a)Protesis ialah proses penambahan fonem pada awal kata. Contoh:
Stri (Sansekerta) menjadi istri
Stana (Sansekerta) menjadi istana
Mas (Sansekerta) menjadi emas
Jati (Sansekerta) menjadi sejati
b) Epentensis ialah proses penambahan suatu fonem di tengah kata. Contoh:
Kapak menjadi kampak
Mukin (Minahasa) menjadi mungkin
Gopala (Sansekerta) menjadi gembala
Tobacco menjadi tembakau
c) Paragog ialah proses penambahan fonem pada akhir kata. Contoh:
Hulubala menjadi hulubalang
Ina menjadi inang
Boek (Belanda) menjadi buku
Lamp menjadi lampu
7. Reduksi
Reduksi adalah peristiwa pengurangan fonem dalam suatu kata. Gejala reduksi dapat dibedakan atas: aferesi, sinkop, dan apokop.
a) Aferesis ialah proses penghilangan fonem pada awal kata. Contoh:
stani menjadi tani
upawasa menjadi puasa
velocipede menjadi sepeda
b) Sinkop ialah proses penghilangan fonem ditengah-tengah kata. Contoh:
utpati menjadi upeti
sahaya menjadi saya
niyata menjadi nyata
c) Apokop ialah penghilangan kata fonem pada akhir kata. Contoh:
pelangit menjadi pelangi
mpulaut menjadi pulau
possesive menjadi posesif
8. Kontraksi
Kontraksi adalah gejala yang memperlihatkan adanya satu atau lebih fonem yang dihilangkan. Kadang-kadang ada perubahan atau penggantian fonem. Contoh:
Perlahan-lahan menjadi pelan-pelan
Tidak ada menjadi tiada
Bahagianda menjadi baginda
9. Metatesis
Metasis adalah proses perubahan bentuk kata yang fonem-fonemnya bertukar tempat. Contoh:
Rontal menjadi lontar
Kelikir menjadi kerikil
Reca menjadi arca
10. Asimilasi
Asimilasi adalah proses penyamaan atau penghampirsamaan bunyi yang tidak sama. Contoh:
Adsimilatio menjadi asimilasi
Alsalam menjadi asalam
In moral menjadi imoral
11. Disimilasi
Desimilasi adalah proses berubahnya dua fonem yang sama menjadi tidak sama. Contoh:
Citta (Sansekerta) menjadi cipta
Sajjana (Sansekerta) menjadi sarjana
Rapport (Belanda) menjadi lapor
12. Diftongisasi
Diftongisasi adalah proses perubahan suatu monoftong menjadi diftong. Contoh:
Anggota menjadi anggauta
Teladan menjadi tauladan
Pete menjadi petai
13. Monoftongisasi
Monoftongisasi adalah proses perubahan suatu diftong menjadi monoftong. Contoh:
Pulau menjadi pulo
Sungai menjadi sunge
Danau menjadi dano
14. Anaptiksis
Anaftiksis adalah proses penambahan suatu bunyi dalam suatu kata guna melancarkan ucapannya. Contoh:
Sloka menjadi seloka
Glana menjadi gulana
Srigala menjadi serigala
15. Haplologi
Haplologi adalah proses penghilangan suku kata yang ada di tengah-tengah kata. Contoh:
Samanantra (sama + an + antara) > sementara
Budhidaya > budaya
Mahardhika (maha + ardhika) > merdeka
D. Perubahan Makna Kata dalam bahasa Indonesia
Chaer (1994:310) menyatakan bahwa secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya, dalam masa yang relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah; tetapi dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah, dan hal ini tidak berlaku untuk semua kosakata yang terdapat dalam sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja, yang disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna dan jenis-jenis perubahan makna akan penulis uraikan berikut ini.
1. Sebab-Sebab Perubahan Makna Kata
- a. Perkembangan dalam Ilmu dan Teknologi
Perkembangan dalam bidang ilmu dan kemajuan dalam bidang teknologi dapat menyebabkan sebuah kata yang pada mulanya mermakna A menjadi bermakna B atau C. Misalnya: kata sastra pada mulanya bermakna ‘tulisan, huruf’; lalu berubah menjadi bermakna ‘bacaan’; kemudian berubah lagi menjadi bermakna ‘buku yang baik isinya dan baik pula bahasanya’. Selanjutnya berkembang lagi menjadi bermakna ‘buku yang baik bersifat imajinatif dan kreatif’. Perubahan makna kata sastra tersebut, karena perkembangan teknologi. Misalnya, dulu kapal-kapal menggunakan layar untuk dapat bergerak, oleh karena itu muncul istilah berlayar dengan makna ‘melakukan perjalanan dengan kapal atau perahu yang digerakkan tenaga layar’. Namun, meskipun tenaga penggerak kapal sudah diganti dengan mesin uap, mesin diesel, mesin turbo, tetapi kata berlayar masih tetap digunakan untuk menyebut perjalan di air.
- b. Perkembangan sosial dan Budaya
Perkembangan dalam bidang sosial kemasyarakatan dapat menyebabkan terjadinya berubahan makna. Bentuk kata tetap sama tetapi konsep makna yang dikandungnya sudah berubah. Misalnya, kata saudara dalam bahasa Sansekerta bermakna ‘seperut’ atau ‘satu kandungan’. Kini kata saudara, walaupun masih juga digunakan dalam arti ‘orang yang lahir dari kandungan yang sama’, tetapi digunakan juga untuk menyebut atau menyapa siapa saja yang dianggap sederajat atau berstatus sosial yang sama.
- c. Perbedaan bidang Pemakaian
Setiap bidang kehidupan atau kegiatan memiliki kosakata tersendiri yang hanya dikenal dan digunakan dengan makna tertentu dalam bidang tersebut. Kata-kata yang menjadi kosakata dalam bidang tertentu dalam kehidupan dan pemakaian sehari-hari dapat terbentuk dari bidangnya; dan digunakan dalam bidang lain atau menjadi kosakata umum. Oleh karena itu, kata-kata tersebut memiliki makna baru atau makna lain di samping makna aslinya. Misalnya kata membajak dengan segala bentuk variasinya seperti pembajakan, dibajak, bajakan, pembajak, yang berasal dari bidang pertanian, kini telah digunakan dalam bidang lain dengan makna ‘melakukan dengan kekerasan atau paksaan untuk memperoleh keuntungan’ seperti tampak dalam frase membajak pesawat terbang, buku bajakan, kaset bajakan, kapal dibajak, dan sebagainya.
- d. Adanya Asosiasi
Yang dimaksud dengan asosiasi adalah adanya hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang berkenaan dengan bentuk ujaran tersebut. Dengan kata lain bahwa makna baru yang muncul berkaitan dengan peristiwa atau hal lain yang berkenaan dengan kata tersebut. Misalnya kata amplop yang berasal dari bidang administrasi, makna asal adalah ‘sampul surat’. Ke dalam amplop selain bisa dimasukkan surat, bisa juga dimasukkan benda lain, misalnya uang. Oleh karena itu, dalam kalimat Beri saja amplop maka urusan pasti beres. Kata amplop bermakna ‘uang’. Di masyarakat kita juga sering mendengar ucapan “Baru keluar dari Kalisosok” , tentu maksudnya baru keluar dari penjara Kalisosok. Kalau dikatakan “Kalau kau berani mencuri, berarti kau siap di kirim ke hotel prodeo,tentu maksudnya dikirim ke penjara.
- e. Pertukaran Tanggapan Indera
Alat indera kita mempunyai masing-masing kekhususan untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Namun, dalam perkembangan pemakain bahasa banyak terjadi pertukaran pemakaian alat indera untuk menangkap gejala yang di sekitar manusia. Misalnya rasa pedas yang seharusnya dianggap oleh alat indera perasa (lidah) menjadi ditangkap oleh alat pendengar (telinga), seperti dalam ujaran kata-katanya sangat pedas; kata manis yang seharusnya ditangkap dengan alat perasa menjadi ditangkap alat indera mata, seperti dalam ujaran bentuknya sangat manis.
2. Jenis Perubahan Makna Kata
Dalam pertumbuhan bahasa, makna suatu kata dapat mengalami perubahan. Berikut jenis-jenis perubahan makna kata.
a. Meluas
Meluas maksudnya adalah cakupan makna sekarang lebih luas daripada makna yang lama. Contoh kata baju pada mulanya hanya berarti ‘pakaian sebelah atas dari pinggang ke bahu, seperti pada frase baju batik, baju lengan panjang, dan sebagainya. Tetapi pada kalimat Murid-murid memakai baju seragam, kata baju pada kalimat tersebut maknanya menjadi meluas sebab dapat termasuk celana, baju, topi, dan sepatu. Begitu juga dengan baju olah raga, baju dinas, dan baju militer
- b. Menyempit
Menyempit maksudnya adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Contoh, kata sarjana, dulu berarti ‘orang pandai’ atau ‘cendekiawan’, kini hanya bermakna ‘orang yang lulus dari perguruan tinggi’. Contoh lain, pendeta semula bermakna ‘orang yang berilmu’ dalam bahasa Melayu masih ada sisanya yaitu Za’ba, seorang tokoh penulis tata bahasa Melayu sering disebut sebagai pendeta bahasa; kini kata pendeta hanya bermakna ‘guru agama Kristen’.
- c. Amelioratif
Amelioratif adalah proses perubahan arti, dan arti baru tersebut dirasakan lebih tinggi atau lebih baik nilainya dari arti dulu. Sebagai misal istri/ nyonya dianggap bernilai lebih tinggi daripada kata bini. Kata karyawan nilainya lebih tinggi daripada buruh, dan sebagainya.
d. Peyoratif
Peyoratif adalah suatu proses perubahan makna, dan arti baru dirasakan lebih rendah nilainya dari makna dulu. Contoh, kata kaki tangan dulu artinya ‘pembantu’ berarti nilai lebih tinggi dari pada sekarang artinya ‘mata-mata’. Contoh lain kata jamban lebih tinggi dari pada kakus/ WC, terbukti dengan munculnya istilah jamban keluarga.
e. Perubahan Total
Yang dimaksud dengan perubahan total adalah makna yang dimiliki sekarang berubah seluruhnya dengan makna aslinya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut-pautnya dengan makna asal, tetapi sangkut paut ini tampaknya jauh sekali. Contoh kata seni pada awalnya selalu dihubungkan dengan air seni ‘kencing’. Tetapi kini digunakan sepadan dengan makna kata Belanda kunst atau bahasa Inggris art, yaitu untuk mengartikan karya atau ciptaan yang bernilai halus. Misalnya dalam frase seni lukis, seni suara, seni tari, dan seni ukir. Contoh lain kata pena pada mulanya berarti ‘bulu’ Kini maknanya sudah berubah total karena kata pena berarti ‘alat tulis yang menggunakan tinta’.
- f. Penghalusan (eufemia)
Penghalusan adalah gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus, atau lebih sopan daripada kata-kata yang digantikan. Kencenderungan untuk menghaluskan makna kata tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat bahasa Indonesia. Contoh:
Kata penjara dihaluskan menjadi lembaga pemasyarakatan
Kata pemecatan dihaluskan menjadi pemutusan hubungan kerja (PHK),
Kata korupsi dihaluskan menjadi menyalahgunakan jabatan,
Kata kenaikan harga dihaluskan menjadi perubahan harga, atau penyesuaian tarif, atau pemberlakuan tarif baru.
- g. Pengasaran (disfemia)
Pengasaran adalah usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan. Contoh: kata masuk kotak untuk menggantikan kalah seperti dalam kalimat Rudi Hartono sudah masuk kotak; kata mencaplok dipakai untuk mengganti ‘mengambil dengan begitu saja’ seperti dalam kalimat Dengan seenaknya Israel mencaplok wilayah Mesir itu; dan kata menjebloskan yang dipakai untuk menggantikan kata memasukan seperti dalam kalimat Polisi menjebloskan pencuri itu ke dalam sel.
Namun, banyak juga kata yang sebenarnya bernilai kasar tetapi sengaja digunakan untuk lebih memberi tekanan tetapi tanpa terasa kekasaranya. Misalnya kata menggondol yang biasa dipakai untuk binatang seperti anjing menggondol tulang; tetapi digunakan seperti dalam kalimat Akhirnya regu bulu tangkis kita berasil menggondol pulang piala Thomas Cup itu. Juga kata mencuri yang dipakai dalam kalimat Kontingen Suriname berhasil mencuri satu mendali emas dari kolam renang, padahal sebenarnya perbuatan mencuri adalah suatu tindak kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman penjara.
E. Penutup
1. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa semua hasil proses perkembangan bahasa, baik penambahan, pengurangan, maupun penggantian dalam bidang apa saja pada bahasa termasuk bunyi, bentuk, makna dapat ditandai sebagai perubahan bahasa.
Pada dasarnya perubahan ada dua macam, yakni perubahan internal (perubahan yang terjadi di dalam bahasa itu sendiri) dan perubahan eksternal (perubahan karena pengaruh dari bahasa lain). Karena terlalu sulit membedakan secara rapi kedua jenis perubahan ini, maka tidak dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.
Perubahan bunyi dalam bahasa Indonesia banyak terjadi pada saat pergantian atau perubahan ejaan yang berlaku di Indonesia. Mulai dari ejaan Van Ophuysen sampai dengan ejaan EYD. Namun, perubahan bunyi juga terjadi akibat pengaruh serapan dari bahasa asing.
Perubahan bentuk dalam bahasa Indonesia terjadi antara lain melalui asosiasi, kontaminasi, adaptasi, pleonasme, hiperkorek, adisi, reduksi, kontraksi, metatesis, asimilasi, disimilasi, diftongisasi, monoftongisasi, anaptiksis dan haplologi.
Perubahan makna dapat terjadi karena perkembangan dalam ilmu dan teknologi, perkembangan sosial dan budaya, perbedaan bidang pemakaian, adanya asosiasi, dan adanya pertukaran tanggapan indera, sedangkan jenis perubahan makna antara lain meluas, menyempit, amelioratif, peyoratif, perubahan total, eufemia, dan disfemia.
DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J.S. 1985. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
——–. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Fromkin, Victoria dan Robert Rodman et.al. 1988. An Introduction to Language. Australia: Harcourt Brace Javanovich Group.
Halmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistic. London: Longman Group UK Limited.
Kerap, Gorys. 1987. Tata Bahasa Indonesia. Flores-Ende: Nusa Indah.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muslich, Masnur. 1990. Tata Bentuk Bahasa Indonesia. Malang: Yayasan Asih- Asah Asuh.
Samsuri. 1991. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Santosa, Kusno Budi. 1990. Problematik Bahasa Indonesia: Sebuah Analisis Praktis Bahasa Baku. Jakarta: Rineka Cipta.
Syafi’i, Imam (Ed). 1990. Bahasa Indonesia Profesi. Malang: IKIP Malang Press.
0 comments:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda di sini :)