Dua manusia duduk berdampingan, dalam remang kamar yang diterangi komputer
yang menyala, sumber cahaya. Menyapu kedua wajah yang memantulkan riak � riak
emosi. Sesekali membayang debaran pada air muka mereka, kemudian kembali tenang.
Kening mereka mengkerut sesekali walau hanya sejenak, atau mata yang menyipit.
Diiringi tarikan nafas yang sering tertahan, mereka merasakan hal yang sama, juga
pikiran yang sama.
Tak ada yang mengeluarkan kata � kata sejak lebih dari satu jam tadi. Hanya suara
musik yang mengalun mengiringi setiap adegan. Jika suara musik itu hilang, terdengar
obrolan seperti berbisik yang hanya bisa tertangkap oleh telinga mereka. Belum bisa
dipastikan bahasa apa yang dipakai. Dari luar kamar terdengar seperti gumaman.
Seorang dari mereka mengangkat tangan dan meletakkannya di atas pundak orang
di sampingnya. Tak ada reaksi. Mereka terus memandangi layar monitor sampai adegan
terakhir. Dua pemeran utama dalam film itu berpelukan, berciuman. Dan film berdurasi
sembilan puluh menit itupun berakhir.
�Kau pernah berciuman, Dan?� tanya Hasrul dengan logat Medannya, sambil
menghembuskan sisa nafas yang tertahan ketika menyaksikan adegan terakhir tadi.
Madan tidak segera menjawab. Disingkirkannya terlebih dahulu lengan Hasrul
yang bergelayut di pundaknya. Sebelumnya Madan tidak ngeh dengan lengan kekar itu.
Sekarang dirasakannya begitu berat. Dia pun terlalu fokus pada adegan ciuman di film
romantis itu.
�Pertanyaanmu terlalu personal, Srul.� jawab Madan sambil mengeluarkan CD
dari CPU, menyalakan lampu kamar, lalu mematikan komputer yang mereka gunakan
untuk nonton film itu.
�Maksud kau apa?�
�Orang dewasa dan terdidik tidak membicarakan pengalaman dari relung
subyektifnya secara vulgar.�
Hasrul tidak menangkap maksud Madan. Apalagi sadar kalau Madan sedang
memproteksi rasa rendah dirinya karena belum pernah berciuman.
Belum lagi Hasrul sanggup mencerna kalimat terakhir, Madan segera menyergap
dengan keahliannya bersilat lidah untuk memutarkan perhatian Hasrul.
�Lebih baik kita membedah persoalan dengan pertanyaan, �sejak kapankah
berciuman menjadi fenomena budaya?� Pertanyaan ini lebih relevan, kan?� ujar Madan
fokus.
Hasrul mengerahkan pikirannya. Keningnya berkerut sejenak. Sebenarnya agak
sulit Hasrul menghubungkan ciuman dengan kebudayaan. Di benaknya hanya ada
gambaran sepasang kekasih berciuman dan penari yang sedang menarikan tarian adat,
lengkap dengan busana adat. Adat daerah mana? Hasrul sendiri belum bisa
Saat Kuhapus Bekas Bibirnya www.cahcepu.com
mengidentifikasi, namun demikian, Hasrul memiliki kesadaran tinggi, bahwa dirinya
adalah mahasiswa yang sanggup berdikusi tentang apa saja, kapan saja, dimana saja.
Demi status kemahasiswaannya, Hasrul mencoba dan mengimbangi Madan.
�Baik jika itu mau kau, kapankah berciuman menjadi fenomena budaya?�
Madan diam, berusaha mengumpulkan pengetahuan tentang berciuman, yang
sebenarnya belum begitu banyak juga ia ketahui.
�Menurut sebagian orang modern, mencium adalah ekspresi perasaan, khususnya
rasa sayang atau cinta pada kekasihnya. Sebenarnya, jauh sebelum zaman ini, ciuman
sudah dipraktekan di beberapa tempat di dunia ini sebagai adat istiadat. Pemaknaannya
berbeda � beda.
�Misalnya, di benua Afrika pada suku � suku tertentu, mencium tanah pada saat
kepala suku datang dimaknai sebagai bentuk penghormatan. Ada juga kelompok
manusia di tempat lain di zaman dulu yang menganggap mencium tangan dan kaki
adalah bentuk penghargaan atau penghormatan.�
�Bukan mencium tanah atau mencium tangan yang kita persoalkan, Dan!� protes
Hasrul.
Madan tidak menggubris protes Hasrul yang tidak sabaran.
�Di Romawi, mencium mulut atau mata dilakukan orang pada saat menyambut
tamu. Itu dimaknai juga sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan. Ada informasi
yang menceritakan bahwa salah seorang raja Romawi yang mengijinkan bangsawan
lapis atas untuk mencium bibir raja, sementara bangsawan lapis bawah hanya untuk
mencium tangan dan kakinya saja.�
Madan terdiam sebentar, membuka bungkus rokok. Mengambilnya sebatang dan
menyulutnya. Asap putih mengepul mengisi ruang sempit itu. Madan sedang menarik
rasa penasaran Hasrul.
�Terus kapan ciuman itu menjadi sebuah kebiasaan atau budaya?� tanya Hasrul
memecah kebuntuan dengan rasa penasaran.
�Ada dugaan, berciuman sudah dilakukan sejak manusia ada di bumi. Tentu saja
setelah ada dua manusia. Karena kalau sendiri tidak ada yang bisa dicium. Dugaan ini
berangkat dari anggapan bahwa ciuman merupakan ekspresi perasaan asli yang dimiliki
setiap manusia. Mungkin Tuhan sudah memasukkan unsur tertentu dalam
penciptaannya sehingga manusia merasa perlu untuk berciuman jika ingin
mengungkapkan perasaan sayang atau cinta itu.�
�Amati saja kasus seseorang ibu yang menyusui bayi, atau ibu yang suka
menciumi anaknya. Itu, kan sangat asli dan original manusiawi. Tidak ada yang
mengajarkan si ibu untuk menciumi anaknya ketika berlimpah perasaan sayang, terjadi
begitu saja.
�Tapi, ada keterangan lain yang menyebutkan bahwa berciuman mulai
berlangsung sejak abad ke enam. Bangsa pelopornya adalah Prancis. Bangsa ini pulalah
yang mempopulerkannya. Di Prancis masa itu, setiap kali selesai berdansa, orang
kemudian berciuman dengan pasangan dansanya. Kebiasaan ini kemudian menyebar ke
seluruh dataran Eropa. Konon, sejak saat itulah orang � orang dewasa selalu berciuman
setiap kali memadu kasih atau bercumbu dengan pasangannya.�
�Jadi selain penghargaan atau penghormatan, ciuman juga merupakan bentuk
kasih sayang!?� Hasrul mencoba menarik kesimpulan.
�Tapi, ada juga tinjauan anthropologi � biologi.� Madan ingin membuat Hasrul
tambah penasaran.
�Apaan tuh?�
Saat Kuhapus Bekas Bibirnya www.cahcepu.com
�Menurut tinjauan ilmu ini, ketika terjadi ciuman anatara laki � laki dan
perempuan, secara bersamaan terjadi pertukaran air liur atau ludah. Disadari ataupun
tidak, rasa air liur ini bisa menimbulkan rangsangan biologis yang memacu libido si
pengecap. Karena yang berciuman adalah sepasang manusia, yang saling mengecap air
liur, maka kedua � duanya terpaku rangsangan biologis dimana libido mereka terpompa
dengan cepat. Peristiwa saling mengecap air liur ini menimbulkan sensasi tertentu, yaitu
perasaan melayang atau ecstacy. Inilah mungkin kenikmatan yang dicari � cari setiap
orang yang berciuman. Perasaan ecstacy itu. Hanyut atau hilangnya kesadaran sosial
yang bersifat atribut. Sepengetahuanku, mahasiswa maupun dosen tidak ingat dirinya
sebagai mahasiswa atau dosen ketika mereka berciuman. Ini pulalah premis � premis
yang kemudian tersusun menjadi tesis utama anthropologi � biologi, yaitu berciuman
atau saling bertukar air liur merupakan kebutuhan biologis setiap manusia. Maka tak
heran di lingkungan suku � suku tertua di dunia ini pun sudah ditemukan beberapa fakta
yang menunjukkan bahwa mereka sudah melakukan praktek berciuman.�
�Oooohhh... rupanya kau pantas menjadi pendamping dokter Boyke atau Naik
Sitobing!� ujar Hasrul dengan rasa kagum. Entah mengerti atau bingung, ada beberapa
kalimat yang melekat di benaknya. Dia kemudian mencoba lagi menarik kesimpulan.
�Kalau begitu, selain ungkapan rasa hormat penghargaan, dan sayang serta cinta,
ciuman juga bisa berarti tukeran air liur, begitu?!�
Madan tak segera menanggapi. Dia sendiri masih mengira � ngira dan
membayangkan, bagaimana rasanya air liur itu? Madan menelan ludah sendiri sebelum
akhirnya menanggapi.
�Bisa kepemilikan, bisa juga penghinaan, tergantung sudut untuk memandang
persoalan�, jawab Madan.
�Kok tergantung, macam mana pula kesinpulan kau itu? Tidak kutemukan dalam
penjelasan tadi?� Hasrul protes lagi. Ia bingung dengan pernyataan Madan terakhir.
Kini giliran dia bertanya, karena tidak punya lagi bahan penjelasan, dengan agak
menyelidik.
�Pernah pacaran Srul?� Hasrul menggeleng.
�Panteesss, kau nanya ke sana ke mari.� kata Madan meledek.
�Kau, yang ngomong ke sana ke mari. Emangnya kau pernah? Pacaran?�
�Sebelum dengan Shanty, pernah aku dulu pacaran dengan teman sekelas di SMA.
Namanya Levy. Suatu hari, aku, Levy dan dua orang teman membolos. Kami
nongkrong di daerah parkiran Monas. Kedua temanku itu adalah sepasang kekasih juga.
Di kawasan parkir itu, dalam mobil, di bangku depan, mereka bercumbu mesra. Sampai
terdengar bunyi decak dari dua mulut yang bergumul.�
Madan menunda ceritanya, dan mencoba menirukan bunyi decak mulut
berciuman. �Mmmmmmpuah...!� Mulut Madan monyong.
�Bagus kali moncong kau itu. Kau berciuman juga saat itu?� tanya Hasrul ingin
tahu.
Madan menggeleng.
�Kenapa?� tanyanya heran.
�Tak berani. Mungkin karena nilai � nilai normatif di kepala dan hati sudah terlalu
meresap menjadi bagian tak terpisahkan dari diriku. Nilai � nilai itulah yang memacu
syaraf malu dan takut sekaligus. Kalau soal keinginan, jangan ditanya.�
�Pacar kau?�
Saat Kuhapus Bekas Bibirnya www.cahcepu.com
�Pacarku itu, dari gelagat yang kutangkap sepertinya sangat mengharapkan untuk
dicium. Tapi, seperti biasa, makhluk emosional itu terlalu gengsi untuk memulai,
apalagi meminta.�
�Lalu?�
�Kami putus, dia bilang �kau pikir untuk apa kita pacaran, hanya ngobrol?� Dia
mengatakan itu dengan marah. Terus, katanya lagi, �cari saja perempuan lain, sebab aku
pun akan mencari lelaki lain yang mau berciuman.�
�Apa yang kau rasakan dan lakukan?�
�Sakit dan membiarkannya.�
�Sejak saat itu kau berubah?�
�Ada sedikit.�
�Kau cium Shanty?�
Madan terdiam.
�Eh, ayolah ceritakan padaku. Janji aku tak akan menceritakannya kepada
siapapun. Bahkan ke bantal dan gulingku sekalipun.�
�Kau janji Srul?�
***
�Aku sering mengamati bagaimana awal mulanya sepasang kekasih berciuman.
Dalam banyak kasus, selalu saja lelaki yang memulai. Entah dengan memegang tangan
atau tengkuk sang kekasih sambil menunggu sinyal persetujuan atau dengan meremas �
remas jari kekasihnya. Sinyal itulah yang menentukan apakah peristiwa berciuman bisa
terjadi atau tidak. Apakah si laki � laki akan mendapatkan ciuman balasan atau dibalas
dengan tamparan? Kebanyakan sinyal itu dapat dibaca dari sorot mata.�
�Menurut cerita teman � temanku, pertama kali mereka berusaha mencium
kekasihnya, ada perasaan tegang dan ragu yang menyelimuti. Ada rasa canggung dan
takut untuk melakukannya. Tapi, karena desakkan rasa ingin tahu dan rasa ingin
mencoba begitu besar, akhirnya mereka berani juga melakukannya. Resiko biasanya
disimpan di belakang.�
�Dari kebanyakan cerita yang kudengar, berjalan mulus. Mungkin karena memang
banyak juga perempuan yang ingin merasakan atau rela menerima perlakuan
pasangannya. Bisa jadi karena rasa sayang, tapi bisa jadi pula karena memang ingin.
Aku tak pernah mendengar cerita dari temanku tentang ciuman dibalas dengan
tamparan, mungkin teman � temanku yang mengalaminya tidak ingin menceritakan
peristiwa yang bagi sebagian laki � laki dianggap memalukan.�
�Pernah juga kusimak obrolan antara sepasang kekasih. Bukan sekedar ngobrol,
tapi ngobrol sebagai bagian dari usaha untuk mendapatkan ciuman. Ada seorang teman
yang waspada, berkata, �gue nggak suka lho orang munafik.� Ini adalah jebakan logika.
Arti tersembunyinya adalah, �lu mau dicium, berarti tidak munafik; tapi kalo nolak
berarti munafik. Coba tebak, siapa orangnya yang mau dibilang munafik?� tanya Madan
pada Hasrul.
�Tak seorangpun mau!� Hasrul dengan cepat menjawab.
�Nah jebakan logika seperti ini melindungi diri sekaligus menyerang dengan
ancaman. Kalaupun mendapatkan penolakan, rasa malu akan terlindungi dengan aman.�
�Aku tak mau menggunakan logika ini, selain kekasihku cerdas, jebakan seperti
ini hanya dipakai oleh penipu murahan, bukan ksatria. Apalagi kalau ingat kecerdasan
kekasihku, jebakan seperti ini hanya akan dibantainya dengan membalikan terminologi,
Saat Kuhapus Bekas Bibirnya www.cahcepu.com
�orang kafir adalah orang yang mempertarutkan hawa nafsunya, dan berciuman dipicu
oleh hawa nafsu yang paling dahsyat.� Kalau sudah begini, bukannya dapat ciuman,
malah aku yang terperangkap jebakan sendiri.�
�Maksud kau?� tanya Hasrul menyela.
�Biarkan aku meneruskan kata � kataku!� pinta Madan dengan suara penuh
otoritas.
�Temanku yang lain punya cara yang lain pula. Dia memulai penjajakan menuju
ciuman dengan bercanda, canda yang diarahkan tentunya. Kelebihan cara ini lebih
bersifat defensif. Kalaupun ditolak, tidak akan tertimpa malu dan jatuhnya harga diri.
Canda yang lazim digunakan adalah seperti menyentuh daerah � daerah genital
pasangannya. Jika muncul sinyal positif, sentuhan akan terus berlangsung sampai
menuju bagian yang paling sensitif. Sebaliknya, kalau sinyal negatif yang muncul, tak
apalah diurungkan niat untuk mencium. Toh hanya bercanda.�
�Tapi persoalannya canda seperti ini tidak bisa dilakukan di sembarang tempat.
Tidak mungkin menyentuh daerah genital di warteg, misalnya. Paling banter yang bisa
dilakukan hanyalah candanya saja, tidak dengan ciumannya. Tempat � tempat yang
paling mungkin untuk menempuh cara ini memang agak eksklusif . bioskop, cafe
remang, atau mobil pribadi. Nah inilah persoalan, semua tempat tidak ini murah. Dan
siapapun tahu, tidak murah adalah persoalanku. Tapi ini jangan diartikan bahwa aku
murahan. Lebih tepat kalau dibilang bersahaja.
�Nah, kembali ke kekasihku. Ia adalah tipe perempuan yang mudah merasa risih.
Kepantasan tata krama selalu diutamakannya.�
Dari semua pengamatanku tentang berbagai cara untuk mendapatkan ciuman,
akhirnya aku lebih suka merumuskan cara sendiri, sekaligus melaksanakannya. �Ijinkan
Kuhapus Bekas Bibirnya di Bibirmu dengan Bibirku,� karya Rahmad Rangkuti. Caraku
ini boleh disebut dengan metode mengarahkan pikiran.
�Begini. Pelaksanaannya. Sengaja kubawa cerpen itu dan kuberikan pada Shanty,
kekasihku, agar ia membacanya. Setelah itu kami membahasnya. Ini langkah awal untuk
mengarahkan pikirannya. Metoda ini, lebih intelek dan lebih romantis.� ujar Madan
menyatakan pandangan subjektifnya.
�Terus?� pinta Hasrul penasaran.
�Saat itu, aku duduk di sampingnya. Kulihat dia tersenyum ketika baru membaca
judulnya saja. Bola matanya yang bergerak � gerak horizontal menandakan dia sudah
mulai membaca isinya. Tampak begitu menikmati. Memperhatikan kekasihku membaca
saja sudah menimbulkan kenikmatan tersendiri. Cukup memakan waktu, tapi, setiap
detiknya kunikmati.�
Selesai juga dia membaca. Menarik nafas, lalu mengangkat kepalanya. Lurus
pandangannya ke depan. Dan aku yakin, dia tak melihat apa � apa, kecuali gambaran
yang terbangun oleh cerpen itu. Walaupun mungkin hanya sesaat saja gambaran itu
muncul.
Aku bertanya, �bagaimana menurutmu cerpen itu?�
Panjang lebar dia mengemukakan komentar atas apa yang baru selesai dibacanya.
Lagi � lagi aku menikmatinya. Memperhatikan riak air muka dan gerakan bibirnya. Aku
memang mendengar dia berbicara, tapi telingaku hanya menangkap bunyi suaranya
yang khas. Tak kuperhatikan kata � katanya, apalagi segala maksud dari semua
komentarnya.
Untunglah, ketika dia meminta pendapatku tentang komentarnya, mulutku sudah
terbuka dan bertanya padanya.
�Pernah ciuman?�
Dia hanya menggelengkan kepala.
Melambunglah perasaanku. Melayang penuh harapan. Bangga sekaligus merasa
beruntung. Aku tidak perlu menghapus bekas bibir siapapun di bibirnya. Muncul setitik
keraguan tapi segera kubunuh. Rasa senang tak terkirakan, aku bisa menjadi orang
pertama baginya, dan mudah � mudahan yang terakhir.
Bercerita pula dia tentang neneknya yang selalu mencium keningnya, tanda
sayang. Kuanggap itu sebagai tanda, sedangkan aku sedang mencari cara. Ini akan
menjadi ciuman pertamaku seumur hidup kepada seorang perempuan, selain ibu dan
nenekku. Kupandangi bibirnya yang terus saja bergerak. Jantungku berdebar. Pikiranku
mulai agak kacau. Dia terus saja bercerita, tetapi telingaku tak dapat mendengar kata �
katanya. Tiba � tiba dia bertanya, membuyarkan pikiranku.
�Apa yang sedang kau pikirkan?�
�Kamu.�
Dia tersipu. Hatiku seperti disapu angin. Tenang, memompa rasa percaya diri.
�Kamu manis, juga cantik.�
Pipinya memerah.
Mobil berhenti. Seorang laki � laki naik. Dia duduk persis di hadapan kami.
Menemukan wanita cantik di depannya, mata pria itu berbinar � binar. Kupahami sorot
mata itu. Mata laki � laki. Seperti mataku. Seperti mata semua laki � laki. Peka terhadap
perempuan. Tubuh kaum hawa. Tubuh yang seharusnya dimuliakan. Bukan untuk
diperkosa. Dan laki � laki itu sedang memperkosa kekasihku. Diam � diam dengan
matanya. Tapi mataku, mata laki � laki memahami semua detilnya. Memahami gejolak
di balik sorotnya. Memahami gelembung hawa libido di dada laki � laki itu. Mungkin
dia memikirkan bagian � bagian tubuh kekasihku. Wajahnya, bibirnya, pipinya, kulit
lehernya, buah dadanya. Membayangkan vaginanya. Pantatnya. Semuanya, semuanya.
Menelanjangi kekasihku, dengan pikirannya. Dia sedang memperkosa kekasihku.
Bukan hanya dengan matanya, tapi juga pikirannya.
Aku marah.
Tak ada syahwat, tapi amarah. Keakuanku tertantang manusia lancang. Bola �
bola udara panas bergemuruh dalam dadaku. Dia adalah laki � laki yang berada di
samping perempuan ini? Baik. Aku layani tantangan itu. Tapi bagaimana?
Kubayangkan aku memukul wajahnya. Mencungkil kedua matanya. Lalu? Aku
menjadi kriminal. Bagaimana kekasihku menilai? Rasanya tak mungkin perempuan
yang menjadi pusat pikiranku selama ini mau menjadi kekasih seorang kriminal. Lalu
bagaimana?
Aku harus mengalahkannya. Aku harus membuktikan bahwa akulah pemilik
perempuan ini. Akulah yang berhak atas perempuan ini. Hak untuk memuliakannya.
Hak untuk menjaganya tetap mulia.
Sudut mataku melihat jari tangan laki � laki itu. Ya, Tuhan! Dia sudah punya istri.
Lihat itu cincin kawinnya. Seliar itukah laki � laki ini? Atau memang semua laki � laki?
Kutakar umurnya. Sepertinya mendekati kepala tiga. Harus kuapakan laki � laki
itu?
Ah, Shanty! Belum juga sadar akan dirinya yang sedang ditelanjang, diperkosa.
Dia masih saja diam. Larut dalam pikirannya. Apa yang dipikirkan kekasihku ini?
Masih terhanyutkah dia dengan segala sanjungan yang kuberikan padanya tadi? Ini
demi dia, demi aku, demi aku dan dia. Demi niat menjadi orang pertama dan terakhir.
�Aku akan menciummu!�
Kunyatakan tegas kalimat itu walaupun dengan berbisik di dekat telinga Shanty ini
sebenarnya isyarat buat manusia lancang itu, bahwa perempuan ini adalah kekasihku.
Sungguh tak terduga reaksi Shanty. Disangkanya aku bercanda. Dia malah
menunjukkan kepalan tangannya dengan canda.
�Nanti Shanty tonjok, nih!�
Laki � laki itu bergeming. Masih saja menatapi kekasihku. Malah kutangkap
kilatan sorot mata yang memusat pada senyum Shanty. Kulihat pancaran hasrat yang
bukan � bukan. Sampailah aku pada jurus yang kuanggap pamungkas dalam situasi itu.
Kudekati wajah Shanty seperti ketika hendak berbisik tadi. Shanty mendekatkan
wajahnya. Tinggal berjarak setengah jengkal saja. Sedetik kemudian.
KENING SHANTY KUCIUM.
Shanty terperanjat. Juga laki � laki itu. Memalingkan wajah dan pandangannya
dari kekasihku ke tempat lain. �Itu lebih baik.� Pikirku.
�Stop! Kiri!�
Mendadak Shanty meminta supir angkot untuk berhenti.
�Saya turun disini.�
�Baik Neng. Tapi gak perlu ngagetin kalau minta berhenti!�
Shanty tidak peduli. Dia terus berjalan menjauh, seperti juga angkot yang melaju
kembali, menjauh. Didesak oleh sedikit panik, aku mengejar Shanty. Mencoba meraih
tangannya. Seperti tertusuk dadaku, dia menepis tanganku.
�Kenapa kamu lakukan itu?� sengit Shanty.
Aku tak bisa menjelaskan apa yang kurasakan. Shanty sudah menutup semua
kemungkinan menerima penjelasan. Sungguh tak tahu lagi apa yang harus kukatakan,
selain :
�Aku sayang kamu.�
�Kenapa kamu mempermalukan aku?�
***
Hasrul ngakak nyaris terpingkal.
�Ah, kupikir kau sudah pernah bertukar air liur dengan perempuan!!!� katanya
dengan nada meledek.
�kau juga belum pernah, kawan.� jawab Madan balik menikam.
�Tapi aku tak banyak cakap seperti kau.� bantah Hasrul.
�Kau tahu Srul, kita ini mahasiswa, dalam banyak hal, kita hanya bermain pada
tataran teori saja.� kelit Madan.
�Tak mau dengar aku.� ujar Hasrul seraya ngeloyor ke luar kamar. Sementara
Madan mengeluarkan dompetnya dan membaca sebuah surat.
Dear Madan.
Aku lebih memilih berbicara dengan surat ketimbang dengan kamu saat ini. Aku
masih marah atas perlakuan kamu waktu itu. Perlakuanmu mencium jidatku di dalam
angkot. Jujur, mungkin pertama kali kau akan mencium hanya dikeningku, tetapi kalau
hal seperti itu aku biarkan, biasanya kaum pria akan meminta lebih, mencium bibir,
meraba payudara bahkan sampai mengajak �bercinta�. Kemudian, setelah itu banyak
pria berkhianat atas nama cinta.
Kebanyakan pria yang kukenal melalui teman � temanku, jarang sekali di antara
mereka yang sanggup berfikir sederhana tentang tubuh, terutama tubuh perempuan.
Kadang mereka tak sanggup berfikir bahwa payudara adalah segumpal daging yang
menonjol di seputar dada perempuan, dengan syaraf � syaraf yang tersusun rumit
namun rapi, berfungsi mengolah darah menjadi zat makanan yang syarat gizi berupa
cairan yang berwarna putih � kita sebut air susu. Makanan bagi setiap makhluk di awal
� awal proses kehidupannya, selalu diahasilkannya sesuai dengan kebutuhan.
Kenapa pria selalu berusaha menjamah bagian ini?
Lain dari contoh itu, jarang sekali kebanyakan dari mereka mengarahkan jalan
pikirannya tentang vagina dengan sederhana?yaitu sebagai lubang bagi manusia
berpindah dari tempat yang nyaman ke tempat yang syarat perjuangan. Tempat mula
manusia meniti kehidupan tahap demi tahap sesuai proses yang harus dilewatinya.
Dari sana manusia mengayun langkah dengan tangisan, memulai kehidupan.
Dapatkah kau merenungkan rasa sakit saat darah mengalir dari otot � ototnya
yang meregang? Perempuan itu mengerang, merintih menahan perih dan nyeri syaraf �
syaraf seputar otot yang robek. Sambil terus mengusahakan alastisitas otot
terlembutnya hingga batas maksimal. Penderitaan seperampat maut itu ditahankan
agar manusia � yang kelak dipanggil anak � dapat keluar dari rahimnya. Tak
mengeluh, tak berputus asa, kecuali berharap dapat mendengar suara tangis makhluk
yang telah membebaninya selama sembilan bula, dan mungkin juga akan
membebaninya bukan hanya sepanjang hidupnya, tetapi kelak dalam kehidupan abadi
di akhirat.
Mendengar tangis sang bayi, dan suara pertama yang dilantunkan setiap
manusia. Suara penuh makna yang sanggup menyentuh sisi terdalam lubuk hati dan
harapan siapa saja. Suara yang dapat membayar penderitaan menjadi kebahagiaan.
Sanggupkah kamu berfikir sederhana seperti itu?
Jika tidak, hubungan kita saat ini harus dihentikan sejenak. Bukan, bukan aku tak
sayang lagi kepadamu. Aku masih sayang padamu. Bukan juga aku tak menginginkan
hal � hal seperti itu, aku juga manusia sepertimu yang mempunyai kebutuhan biologis.
Hanya saja menurutku itu hanya persoalan ruang dan waktu.
Ruang yang memang memungkinkan sepasang makhluk untuk bercengkrama
harus disesuaikan dengan waktu. Bukan malam. Melainkan waktu dalam arti
perjalanan hidup, yakni pada saat setiap pasangan disatukan dengan tali pernikahan.
Mudah � mudahan kita memang dipertemukan takdir, pada saat itulah...kau tahu
kan...apa yang kubayangkan????
Shanty
Senin, 16 Februari 2009
Cerpe: SAAT KUHAPUS BEKAS BIBIRNYA
10:53 PM
Indra Saputra
No comments
0 comments:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda di sini :)